Pada zaman dahulu,
hiduplah dua ekor tupai kakak-beradik yang amat lucu. Mereka gemar berkeliling
hutan, melompat riang di antara pepeohonan kering musim kemarau. Debu gersang
yang berterbangan mengganggu riak canda yang mengalir. Tiba-tiba si tupai
laki-laki terbatuk keras karena tersedak oleh debu yang masuk bersama nafasnya.
Sang adik menjadi panik.
“Kakak, apa yang
terjadi?” Tanyanya gusar.
Kakak tidak bisa berbicara
untuk menjawab, debu memenuhi dasar tenggorokannya yang kering. Adik perempuannya
semakin khawatir, hingga keringat dingin keluar dari dahinya. Semakin degup
jantungnya berpacu, keringat yang keluar semakin bercucuran.
Sang kakak yang semakin tak berdaya
menunjuk titik-titik peluh yang mulai mengaliri pelipis adiknya, membuatnya
kebingungan. Tetapi setelah menyentuh dahinya, si adik pun mengerti.
“Kakak ingin air?”
Tanyanya memastikan.
Kakaknya mengangguk
semangat.
Lalu adik memetik
selembar daun talas dan mencoba mengambil air peluhnya menggunakan daun talas
itu. Dia mendapatkan tiga tetes lalu menyuruh kakaknya untuk membuka mulut. Begitu
saja seterusnya, sampai akhirnya peluh habis namun kakak belum juga membaik. Dia
kembali gusar.
Pangeran Bumi yang
sejak tadi melihat kejadian itu, merasa kasihan kepada mereka. Dia prihatin,
bagaimana jika si kakak meninggal dunia? Apa yang akan terjadi pada adik
perempuannya yang sebatang kara itu? Bagaimana dia akan bertahan hidup tanpa
kakaknya?
Pangeran Bumi pun berfikir keras mencari
solusi untuk membantu mereka. Dan, kehangatan tubuhnya yang semakin siang
semakin memanas menelurkan sebuah ide di kepalanya.
Dia memandang lurus ke
atas, pada sebuah cahaya besar yang memancar.
“Wahai matahari,
perkenankanlah dirimu menambah panas untuk kedua tupai itu. Mereka sedang
membutuhkan air.” Pinta Pangeran Bumi kepada Matahari.
Ruang hutan pun berubah
panas. Cahanya terik mengepung dari segala penjuru terbawa angin dan udara.
Perlahan-lahan, peluh
kembali muncul di dahi tupai. Kali ini bukan hanya di dahi adiknya, tetapi juga
kakaknya. Lalu dengan semangat sang adik mengambil peluh itu dan memberikannya
pada sang kakak yang tergeletak lemah.
“Minumlah untukmu juga.”
Lirih sang kakak kepadanya.
“Tidak kak. Ini semua
untukmu. Kakak harus sembuh sehingga kita bisa berkeliling hutan bersama sekali
lagi.” Jawab sang adik.
Pangeran Bumi tertegun
melihat mereka.
“Terima kasih matahari.”
Ucapnya.
Matahari mengangguk
kemudian meredup.
Sore telah datang dan
tak lama berganti malam. Kedua ekor tupai itu mempersiapkan diri untuk
beristirahat. Mereka tertidur berselimutkan daun talas layu.
“Selamat tidur tupai
kakak-beradik yang saling menyayangi. Semoga kalian bermimpi yang indah.” Bisik
Pangeran Bumi.
Lalu dia meminta kepada
langit,
“Langit, mohon kirimkan
embun esok pagi. Untuk mereka. Sebagai bekal agar mereka tidak kehausan lagi.”
Esok pun tiba. Rerumputan
tampak segar menghijau. Daun talas bermekaran, mengusung berpuluh tetes embun
yang sejuk. Kedua tupai itu memandang berbinar-binar.
“Terima kasih.” Ucap mereka.
Pangeran Bumi tersenyum,
menampakkan gurat lega di wajahnya.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar