Jumat, 22 April 2016

[Dongeng] - Pangeran Bumi & Tupai yang Tersedak


Pada zaman dahulu, hiduplah dua ekor tupai kakak-beradik yang amat lucu. Mereka gemar berkeliling hutan, melompat riang di antara pepeohonan kering musim kemarau. Debu gersang yang berterbangan mengganggu riak canda yang mengalir. Tiba-tiba si tupai laki-laki terbatuk keras karena tersedak oleh debu yang masuk bersama nafasnya. Sang adik menjadi panik.
“Kakak, apa yang terjadi?” Tanyanya gusar.
Kakak tidak bisa berbicara untuk menjawab, debu memenuhi dasar tenggorokannya yang kering. Adik perempuannya semakin khawatir, hingga keringat dingin keluar dari dahinya. Semakin degup jantungnya berpacu, keringat yang keluar semakin bercucuran.
Sang kakak yang semakin tak berdaya menunjuk titik-titik peluh yang mulai mengaliri pelipis adiknya, membuatnya kebingungan. Tetapi setelah menyentuh dahinya, si adik pun mengerti.
“Kakak ingin air?” Tanyanya memastikan.
Kakaknya mengangguk semangat.
Lalu adik memetik selembar daun talas dan mencoba mengambil air peluhnya menggunakan daun talas itu. Dia mendapatkan tiga tetes lalu menyuruh kakaknya untuk membuka mulut. Begitu saja seterusnya, sampai akhirnya peluh habis namun kakak belum juga membaik. Dia kembali gusar.
Pangeran Bumi yang sejak tadi melihat kejadian itu, merasa kasihan kepada mereka. Dia prihatin, bagaimana jika si kakak meninggal dunia? Apa yang akan terjadi pada adik perempuannya yang sebatang kara itu? Bagaimana dia akan bertahan hidup tanpa kakaknya?
Pangeran Bumi pun berfikir keras mencari solusi untuk membantu mereka. Dan, kehangatan tubuhnya yang semakin siang semakin memanas menelurkan sebuah ide di kepalanya.
Dia memandang lurus ke atas, pada sebuah cahaya besar yang memancar.
“Wahai matahari, perkenankanlah dirimu menambah panas untuk kedua tupai itu. Mereka sedang membutuhkan air.” Pinta Pangeran Bumi kepada Matahari.
Ruang hutan pun berubah panas. Cahanya terik mengepung dari segala penjuru terbawa angin dan udara.
Perlahan-lahan, peluh kembali muncul di dahi tupai. Kali ini bukan hanya di dahi adiknya, tetapi juga kakaknya. Lalu dengan semangat sang adik mengambil peluh itu dan memberikannya pada sang kakak yang tergeletak lemah.
“Minumlah untukmu juga.” Lirih sang kakak kepadanya.
“Tidak kak. Ini semua untukmu. Kakak harus sembuh sehingga kita bisa berkeliling hutan bersama sekali lagi.” Jawab sang adik.
Pangeran Bumi tertegun melihat mereka.
“Terima kasih matahari.” Ucapnya.
Matahari mengangguk kemudian meredup.
Sore telah datang dan tak lama berganti malam. Kedua ekor tupai itu mempersiapkan diri untuk beristirahat. Mereka tertidur berselimutkan daun talas layu.
“Selamat tidur tupai kakak-beradik yang saling menyayangi. Semoga kalian bermimpi yang indah.” Bisik Pangeran Bumi.
Lalu dia meminta kepada langit,
“Langit, mohon kirimkan embun esok pagi. Untuk mereka. Sebagai bekal agar mereka tidak kehausan lagi.”
Esok pun tiba. Rerumputan tampak segar menghijau. Daun talas bermekaran, mengusung berpuluh tetes embun yang sejuk. Kedua tupai itu memandang berbinar-binar.
“Terima kasih.” Ucap mereka.
Pangeran Bumi tersenyum, menampakkan gurat lega di wajahnya.

TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar