Minggu ini berbeda,
Bibi Priska tidak datang mengunjungi kami. Belum lama, tapi aku mulai
merindukannya. Gigi besarnya yang putih bejejeran saat dia sedang tertawa.
Garis-garis tipis pun nampak di sudut matanya. Usia Bibi Priska hampir setengah
abad tetapi dia tidak kunjung memiliki suami. Meskipun demikian, dia selalu
ceria dan dia juga gemar menyalurkan keceriaan itu kepada kami.
Setiap kali berkunjung
kemari, dia tidak pernah lupa akan kaca mata hitamnya yang memiliki gagang
berwarna kuning. Mungkin dia ingin membanggakan kehidupan kota di desa kecil
ini. Gemerincing gelang dan kalungnya bersahutan ketika dia berjalan sambil
menenteng tas mungil berwarna emas miliknya. Entah apa saja yang bisa masuk ke
dalam tas itu. Aku rasa, sebaiknya dia membeli tas yang lebih besar. Bukankah
dia memiliki banyak uang, tetapi mengapa sejak pertama aku melihatnya hanya tas
itu yang dia tenteng, tidak pernah sekali pun berganti.
Bibi Priska selalu
berjalan dengan gaya yang sama, berlenggak-lenggok seraya menyincing kaki yang
berbalut sepatu hak tinggi. Terakhir kali aku melihatnya memakai sepatu hitam
menyilaukan. Dia juga selalu mengenakan dress
panjang tanpa lengan, hanya warnanya yang berganti setiap kali dia kemari.
Sambil menyusuri jalan
setapak berkerikil, dia selalu berseru meminta lotion setiap kali melewati rumah tetangga, sambil
menggosok-gosokkan tangan kanan ke lengan kirinya dan menyibak rambut
panjangnya memandang matahari terik. Itulah sebabnya aku mengatakan, sebaiknya
dia membeli tas yang lebih besar agar dia bisa memasukkan setidaknya lotion kulit.
Tapi lebih daripada
itu, aku selalu bertanya-tanya, siapa Bibi Priska itu? Mengapa dia rela melalui
rute jalan yang jauh dari kota untuk mengunjungi keluargaku? Apakah dia titipan
presiden untuk membantu rakyat miskin seperti kami? Setiap minggu, setidaknya
minimal tiga ratus ribu rupiah yang dia berikan kepadaku. Sejujurnya, itulah
yang aku rindukan.
Ketika Bibi Priska
datang, anak-anak kecil selalu berkumpul di rumahku. Saling berebutan mengintip
dari kaca jendela, melihat Bibi Priska yang sedang dijamu makanan enak oleh
Ibu. Tidak pernah kurang dari sepiring udang dan cumi, semangkuk rendang sapi,
bermacam-macam sayuran dan kacang goreng dihidangkan sebagai lauk, dan tidak
lupa juga nasi dari beras kualitas nomor satu menggunung di tengah-tengah
lauk-pauk yang melingkar. Saat itu pula, aku, adikku dan ayah selalu kecewa
ketika di dapur tidak ada lagi makanan yang tersisa.
Sementara itu, Ibu asik
mengobrol dengan Bibi Priska seolah mereka adalah sahabat karib di universitas.
Ayah tampak geram namun ketika Bibi Priska meliriknya, wajahnya seperti
tersiram rendaman mawar, sejuk. Aku mulai kesal, tetapi ketika Bibi Priska
tersenyum sambil menyodorkan beberapa lembar kertas merah, amarahku pun mulai
mereda. Begitulah pemandangan yang disaksikan anak-anak di luar sana, setiap
minggu.
Tetapi minggu ini
berbeda, rumahku terlihat sepi. Aku sedang berdiri di ujung gang menunggu
tukang ojek yang biasanya datang membawa Bibi Priska. Anak-anak pun mulai
berjejeran di pinggir jalan bersiap menyambutnya, namun hingga matahari
tergelincir di pucuk sore, tidak ada tanda-tanda kedatangannya. Anak-anak
terlihat kecewa. Tidak bisa ku mengerti, hanya dengan tidak melihat Bibi Priska
mereka semua kecewa, sementara mereka baik-baik saja ketika nilai rapor mereka
ditulis dengan tinta merah.
Tidak ada yang berbeda,
aku pun demikian. Aku kecewa karena Bibi Priska tidak datang, padahal tidak ada
yang bisa diharapkan darinya. Bahkan sepeser pun, Ibu tidak akan membiarkanku
memiliki uang yang diberikan oleh Bibi Priska. Pernah suatu ketika aku
berhayal, Ibu, biarkan saja aku yang menjamu Bibi Priska. Ibu silahkan
beristirahat karena Ibu terlihat lelah. Dengan begitu, Ibu tidak akan tahu
kalau Bibi Priska memberiku uang, lalu kemudian aku bisa memiliki uang itu
seutuhnya atas namaku sendiri. Mungkin dengan begitu, oksigen yang aku hirup
terasa ada.
Tetapi itu tidak akan
pernah terjadi. Saat tiba waktunya Bibi Priska untuk berkunjung, subuh di pagi
buta, Ibu sudah berangkat ke pasar membeli bahan-bahan perjamuan. Setelah
pulang dari pasar, Ibu mulai mendektekan tugas untukku dan adikku, sementara
ayah dibiarkannya melakukan apa pun yang dimau. Saat itu pula aku melihat,
wajah adikku merengut kesal seolah tangannya ingin terbang mencekik Ibu.
Tapi hari ini, aku
tidak melihat aktivitas yang sama dari Ibu. Bahkan hingga sore dia tidak
kunjung pulang dari ladang. Sungguh sebuah kekonyolan aku berdiri bodoh
menunggu Bibi Priska di ujung jalan. Inginku garuk wajah adikku yang mengejek
dengan senyumnya yang menjengkelkan. Beraninya dia. Hei, biarpun kau tidak
menampakkannya kau kira aku tidak dengar, kau mengumpatku bodoh, omelku dalam
kemarahan yang membara.
Senja datang ketika Ibu
dan Ayah memasuki pintu rumah dengan wajah letih. Kulit mereka terlihat kusam
karena terbakar sinar matahari. Ayah terduduk lemah dengan ratapan kemiskinan
yang tak ada habisnya. Tetapi Ibuku, entah mengapa senyumnya merona terekam
cahaya lampu.
“Ibu, mengapa hari ini
Bibi Priska tidak datang?” Tanyaku.
Aku menanyakan Bibi
Priska seolah dia adalah saudara kandung Ibuku. Entah teori siapa yang aku
pergunakan untuk menyimpulkan bahwa dia memang benar-benar adik perempuan Ibu.
Mereka tidak mirip, bahkan usia mereka tampak terpaut sama. Sepertinya uang
telah merangkai sendiri ikatan dalam hatiku terhadap Bibi Priska.
“Karena hutang emas Ibu
sudah lunas.” Jawab Ibu santai sambil meninggalkan keterkejutanku dan Ayah. Sementara
itu, setelah menaruh peralatan ladangnya, Ibu bergegas ke kamar mandi. Aku dan
Ayah hanya bisa saling berpandangan.
Di balik tirai pintu
kamar, adikku memandang sebelah mata kebingungan kami. Dasar bodoh, sekali lagi
ku dengar dia mengumpat dari dasar lubuk hatinya. Atau mungkin, aku mendengar
suaraku sendiri yang mengumpati diriku sendiri? Kenapa tak jua aku berfikir,
bagaimana mungkin Ibu memiliki saudara di kota, bahkan nenek moyangnya pun
tidak pernah berfikir untuk mencoba melirik gadis atau pemuda tampan di kota.
“ Uang yang diberikan
oleh Bibi Priska itu adalah sebagian dari hasil tagihan hutang emas Ibu, Bodoh
!!” Seru adikku ketika ku singkap tirai pintu kamar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar