Sabtu, 23 April 2016

[Cerpen] - Bibi Priska


Minggu ini berbeda, Bibi Priska tidak datang mengunjungi kami. Belum lama, tapi aku mulai merindukannya. Gigi besarnya yang putih bejejeran saat dia sedang tertawa. Garis-garis tipis pun nampak di sudut matanya. Usia Bibi Priska hampir setengah abad tetapi dia tidak kunjung memiliki suami. Meskipun demikian, dia selalu ceria dan dia juga gemar menyalurkan keceriaan itu kepada kami.
Setiap kali berkunjung kemari, dia tidak pernah lupa akan kaca mata hitamnya yang memiliki gagang berwarna kuning. Mungkin dia ingin membanggakan kehidupan kota di desa kecil ini. Gemerincing gelang dan kalungnya bersahutan ketika dia berjalan sambil menenteng tas mungil berwarna emas miliknya. Entah apa saja yang bisa masuk ke dalam tas itu. Aku rasa, sebaiknya dia membeli tas yang lebih besar. Bukankah dia memiliki banyak uang, tetapi mengapa sejak pertama aku melihatnya hanya tas itu yang dia tenteng, tidak pernah sekali pun berganti.
Bibi Priska selalu berjalan dengan gaya yang sama, berlenggak-lenggok seraya menyincing kaki yang berbalut sepatu hak tinggi. Terakhir kali aku melihatnya memakai sepatu hitam menyilaukan. Dia juga selalu mengenakan dress panjang tanpa lengan, hanya warnanya yang berganti setiap kali dia kemari.
Sambil menyusuri jalan setapak berkerikil, dia selalu berseru meminta lotion setiap kali melewati rumah tetangga, sambil menggosok-gosokkan tangan kanan ke lengan kirinya dan menyibak rambut panjangnya memandang matahari terik. Itulah sebabnya aku mengatakan, sebaiknya dia membeli tas yang lebih besar agar dia bisa memasukkan setidaknya lotion kulit.
Tapi lebih daripada itu, aku selalu bertanya-tanya, siapa Bibi Priska itu? Mengapa dia rela melalui rute jalan yang jauh dari kota untuk mengunjungi keluargaku? Apakah dia titipan presiden untuk membantu rakyat miskin seperti kami? Setiap minggu, setidaknya minimal tiga ratus ribu rupiah yang dia berikan kepadaku. Sejujurnya, itulah yang aku rindukan.
Ketika Bibi Priska datang, anak-anak kecil selalu berkumpul di rumahku. Saling berebutan mengintip dari kaca jendela, melihat Bibi Priska yang sedang dijamu makanan enak oleh Ibu. Tidak pernah kurang dari sepiring udang dan cumi, semangkuk rendang sapi, bermacam-macam sayuran dan kacang goreng dihidangkan sebagai lauk, dan tidak lupa juga nasi dari beras kualitas nomor satu menggunung di tengah-tengah lauk-pauk yang melingkar. Saat itu pula, aku, adikku dan ayah selalu kecewa ketika di dapur tidak ada lagi makanan yang tersisa.
Sementara itu, Ibu asik mengobrol dengan Bibi Priska seolah mereka adalah sahabat karib di universitas. Ayah tampak geram namun ketika Bibi Priska meliriknya, wajahnya seperti tersiram rendaman mawar, sejuk. Aku mulai kesal, tetapi ketika Bibi Priska tersenyum sambil menyodorkan beberapa lembar kertas merah, amarahku pun mulai mereda. Begitulah pemandangan yang disaksikan anak-anak di luar sana, setiap minggu.
Tetapi minggu ini berbeda, rumahku terlihat sepi. Aku sedang berdiri di ujung gang menunggu tukang ojek yang biasanya datang membawa Bibi Priska. Anak-anak pun mulai berjejeran di pinggir jalan bersiap menyambutnya, namun hingga matahari tergelincir di pucuk sore, tidak ada tanda-tanda kedatangannya. Anak-anak terlihat kecewa. Tidak bisa ku mengerti, hanya dengan tidak melihat Bibi Priska mereka semua kecewa, sementara mereka baik-baik saja ketika nilai rapor mereka ditulis dengan tinta merah.
Tidak ada yang berbeda, aku pun demikian. Aku kecewa karena Bibi Priska tidak datang, padahal tidak ada yang bisa diharapkan darinya. Bahkan sepeser pun, Ibu tidak akan membiarkanku memiliki uang yang diberikan oleh Bibi Priska. Pernah suatu ketika aku berhayal, Ibu, biarkan saja aku yang menjamu Bibi Priska. Ibu silahkan beristirahat karena Ibu terlihat lelah. Dengan begitu, Ibu tidak akan tahu kalau Bibi Priska memberiku uang, lalu kemudian aku bisa memiliki uang itu seutuhnya atas namaku sendiri. Mungkin dengan begitu, oksigen yang aku hirup terasa ada.
Tetapi itu tidak akan pernah terjadi. Saat tiba waktunya Bibi Priska untuk berkunjung, subuh di pagi buta, Ibu sudah berangkat ke pasar membeli bahan-bahan perjamuan. Setelah pulang dari pasar, Ibu mulai mendektekan tugas untukku dan adikku, sementara ayah dibiarkannya melakukan apa pun yang dimau. Saat itu pula aku melihat, wajah adikku merengut kesal seolah tangannya ingin terbang mencekik Ibu.
Tapi hari ini, aku tidak melihat aktivitas yang sama dari Ibu. Bahkan hingga sore dia tidak kunjung pulang dari ladang. Sungguh sebuah kekonyolan aku berdiri bodoh menunggu Bibi Priska di ujung jalan. Inginku garuk wajah adikku yang mengejek dengan senyumnya yang menjengkelkan. Beraninya dia. Hei, biarpun kau tidak menampakkannya kau kira aku tidak dengar, kau mengumpatku bodoh, omelku dalam kemarahan yang membara.
Senja datang ketika Ibu dan Ayah memasuki pintu rumah dengan wajah letih. Kulit mereka terlihat kusam karena terbakar sinar matahari. Ayah terduduk lemah dengan ratapan kemiskinan yang tak ada habisnya. Tetapi Ibuku, entah mengapa senyumnya merona terekam cahaya lampu.
“Ibu, mengapa hari ini Bibi Priska tidak datang?” Tanyaku.
Aku menanyakan Bibi Priska seolah dia adalah saudara kandung Ibuku. Entah teori siapa yang aku pergunakan untuk menyimpulkan bahwa dia memang benar-benar adik perempuan Ibu. Mereka tidak mirip, bahkan usia mereka tampak terpaut sama. Sepertinya uang telah merangkai sendiri ikatan dalam hatiku terhadap Bibi Priska.
“Karena hutang emas Ibu sudah lunas.” Jawab Ibu santai sambil meninggalkan keterkejutanku dan Ayah. Sementara itu, setelah menaruh peralatan ladangnya, Ibu bergegas ke kamar mandi. Aku dan Ayah hanya bisa saling berpandangan.
Di balik tirai pintu kamar, adikku memandang sebelah mata kebingungan kami. Dasar bodoh, sekali lagi ku dengar dia mengumpat dari dasar lubuk hatinya. Atau mungkin, aku mendengar suaraku sendiri yang mengumpati diriku sendiri? Kenapa tak jua aku berfikir, bagaimana mungkin Ibu memiliki saudara di kota, bahkan nenek moyangnya pun tidak pernah berfikir untuk mencoba melirik gadis atau pemuda tampan di kota.
“ Uang yang diberikan oleh Bibi Priska itu adalah sebagian dari hasil tagihan hutang emas Ibu, Bodoh !!” Seru adikku ketika ku singkap tirai pintu kamar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar