Sabtu, 23 April 2016

[Cerpen] - Seperti Senja


Seperti biasa, gadis itu selalu keluar dari gubuk tepat jam 6 sore, dengan wajah lebam dan rambut kusut. Kali ini, kedua betisnya juga memar. Dia mencoba berjalan normal, tetapi jelas terlihat bahwa dia lelah menahan sakit.
Gadis itu terus berjalan dengan lebam yang terlihat semakin jelas akibat wajahnya yang pucat pasi. Dia berjalan setengah berlari menyusuri jalan setapak berbatu. Rerimbunan semak bak menyapanya sedih. Bayangannya terus berkelebat di antara mereka. Gadis itu tidak menghiraukan apa pun selain berusaha mengejar matahari yang berlari meninggalkannya.
Bayangan lain berkelebat beberapa meter di belakang gadis itu, tampak tergesa-gesa, tidak ingin kehilangan jejak. Tampak sepasang matanya terus mengawasi langkah gadis itu. Butiran-butiran perih terjuntai dalam hatinya.
Dalam beberapa meter jarak, sepasang manusia itu terus berjalan seperti tanpa tujuan. Mereka terus berjalan mengikuti waktu yang mengantarkan sore menjemput malam.
Dunia perlahan gelap menyisakan raut pepohonan yang terlihat semakin buram. Tetapi langit masih melihatnya, buliran-buliran air mengaliri pipi gadis itu. Dan telinga malam tak pernah bosan mendengar isaknya hingga di kejauhan. Di atas sebuah batu besar pipih ini, dia selalu terduduk mengurung wajahnya seraya memilah berlipat-lipat rencana yang dimilikinya. Dalam sorotan sepasang mata di belakangnya, punggungnya tampak bergerak mengikuti irama tangis yang mendalam. Ingin sekali rasanya tangan itu menggapainya, pundak itu menghiburnya, dan senyum itu menghangatkannya. Dia ingin mengatakan bahwa gadis itu tidak sendiri, dia ada di sini untuk menemaninya. Namun seperti biasa, dia hanya bisa mengulang itu dalam pikirannya.
Seperti malam ini, dia terduduk kembali, di balik pohon tepat 2 meter dari batu pipih itu. Dia mencoba mencari dukungan dari kerak pohon bahwa sebenarnya dia lebih nyaman daripada batu pipih itu untuk dijadikan tempat bersandar.
Kini senja telah menghilang dan malam benar-benar gelap. Dia kembali mengawasi batu pipih di hadapannya, mencoba merasakan bahwa gadis itu masih di sana. Dalam kelam, matanya mencari-cari. Lalu dengan gelagapan dia berdiri, berlari menghampiri. Batu pipih itu kosong melompong. Wajahnya tampak khawatir.
Dengan gemetar dia menyalakan senter kecil dan membiarkan cahaya senter menelusup setapak. Hei, di sana hanya ada batu-batu bisu yang terbalut angin, pohon perdu yang setia menerawang langit, serta semak-semak kering yang tertidur lesu. Dia sangat berharap untuk melihat sekelebat bayangan di kejauhan sana, yang berjalan kembali pulang. Tetapi wajanhnya yang malang telah lebih dulu mengutuk dirinya sendiri.
Dengan lesu, dia terduduk di atas batu pipih, menunduk, menagis. Dalam tunduk yang mendalam, dia menyapu udara berharap angin mengantarkan gadis itu kembali. Sementara itu, senter kecil dibiarkannya menengadah ke arah tanah. Sepasang matanya terkesiap menangkap ukiran putih di sisi depan batu.
Anggap saja aku senja, yang pasti menghilang bersama datangnya malam.
Sekujur tubuhnya terhempas dari batu. Dia tidak mampu lagi menopang dirinya sendiri, seperti juga dia tidak mampu menopang gadis itu agar tetap bertahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar