Seperti biasa, gadis
itu selalu keluar dari gubuk tepat jam 6 sore, dengan wajah lebam dan rambut
kusut. Kali ini, kedua betisnya juga memar. Dia mencoba berjalan normal, tetapi
jelas terlihat bahwa dia lelah menahan sakit.
Gadis itu terus berjalan
dengan lebam yang terlihat semakin jelas akibat wajahnya yang pucat pasi. Dia
berjalan setengah berlari menyusuri jalan setapak berbatu. Rerimbunan semak bak
menyapanya sedih. Bayangannya terus berkelebat di antara mereka. Gadis itu
tidak menghiraukan apa pun selain berusaha mengejar matahari yang berlari
meninggalkannya.
Bayangan lain
berkelebat beberapa meter di belakang gadis itu, tampak tergesa-gesa, tidak
ingin kehilangan jejak. Tampak sepasang matanya terus mengawasi langkah gadis
itu. Butiran-butiran perih terjuntai dalam hatinya.
Dalam beberapa meter jarak, sepasang
manusia itu terus berjalan seperti tanpa tujuan. Mereka terus berjalan
mengikuti waktu yang mengantarkan sore menjemput malam.
Dunia perlahan gelap
menyisakan raut pepohonan yang terlihat semakin buram. Tetapi langit masih
melihatnya, buliran-buliran air mengaliri pipi gadis itu. Dan telinga malam tak
pernah bosan mendengar isaknya hingga di kejauhan. Di atas sebuah batu besar
pipih ini, dia selalu terduduk mengurung wajahnya seraya memilah berlipat-lipat
rencana yang dimilikinya. Dalam sorotan sepasang mata di belakangnya,
punggungnya tampak bergerak mengikuti irama tangis yang mendalam. Ingin sekali
rasanya tangan itu menggapainya, pundak itu menghiburnya, dan senyum itu menghangatkannya.
Dia ingin mengatakan bahwa gadis itu tidak sendiri, dia ada di sini untuk
menemaninya. Namun seperti biasa, dia hanya bisa mengulang itu dalam
pikirannya.
Seperti malam ini, dia
terduduk kembali, di balik pohon tepat 2 meter dari batu pipih itu. Dia mencoba
mencari dukungan dari kerak pohon bahwa sebenarnya dia lebih nyaman daripada
batu pipih itu untuk dijadikan tempat bersandar.
Kini senja telah
menghilang dan malam benar-benar gelap. Dia kembali mengawasi batu pipih di
hadapannya, mencoba merasakan bahwa gadis itu masih di sana. Dalam kelam,
matanya mencari-cari. Lalu dengan gelagapan dia berdiri, berlari menghampiri.
Batu pipih itu kosong melompong. Wajahnya tampak khawatir.
Dengan gemetar dia
menyalakan senter kecil dan membiarkan cahaya senter menelusup setapak. Hei, di
sana hanya ada batu-batu bisu yang terbalut angin, pohon perdu yang setia
menerawang langit, serta semak-semak kering yang tertidur lesu. Dia sangat
berharap untuk melihat sekelebat bayangan di kejauhan sana, yang berjalan kembali
pulang. Tetapi wajanhnya yang malang telah lebih dulu mengutuk dirinya sendiri.
Dengan lesu, dia
terduduk di atas batu pipih, menunduk, menagis. Dalam tunduk yang mendalam, dia
menyapu udara berharap angin mengantarkan gadis itu kembali. Sementara itu,
senter kecil dibiarkannya menengadah ke arah tanah. Sepasang matanya terkesiap
menangkap ukiran putih di sisi depan batu.
Anggap
saja aku senja, yang pasti menghilang bersama datangnya malam.
Sekujur tubuhnya
terhempas dari batu. Dia tidak mampu lagi menopang dirinya sendiri, seperti
juga dia tidak mampu menopang gadis itu agar tetap bertahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar