Bayangan-bayangan
benda menari lembut mengikuti alunan angin yang mengayunkan nyala api di bawah
dipan sederhana yang meringkuk. Selimut tua terjuntai gemulai hampir menyentuh
sambaran lidahnya yang semakin jinak. Sepertinya ia juga rindu kehangatan
seperti tuannya yang berdiri terpaku memandang lurus ke dinding. Sudah hampir
tengah malam, cahaya api mulai redup, namun sepasang mata lelaki tua beruban
itu semakin menyala.
Pada ruang
pengelihatannya yang tajam menikam, tergelar selendang perak bersulam emas.
Sebuah benda pusaka miliknya yang ia tenun dengan letih tanpa pamrih. Selendang
yang tertempel di dinding sempit ruang tidurnya yang tak terjamah. Sebuah
selendang bertajuk mimpi dan harapannya.
Ia menyorot
rindu pada wajah yang terukir di lempengan kanan benda perak itu, tangannya
perlahan terangkat dan membelai lembut pipi timbul bergurat tegar. Detak
jantungnya berpacu, beradu dengan kekecewaan yang menyergap asanya.
“Kartini…”
Gumamnya memandang masuk ke kedua mata sketsa itu.
Dia menarik
nafas berat lalu menghembuskannya perlahan. Dia menunduk dalam sembari terpejam,
memberi hormat pada sunggingan senyum tipis di hadapannya.
Sorot matanya
berubah marah dan menghakimi, ketika menilik sebait kalimat di sisi kanan bawah
selendang. Tulisan tangannya sendiri menggunakan jarum berbenang emas. Deru
nafasnya memburu tetapi kemudian melemah, seiring gerak tubuhnya. Rasa lelah
meminang letih, mereka menikah dan bercumbu, membuat lelaki tua itu tak kuat
berdiri lagi. Kepenatan otaknya menjalar turun mengundang getaran yang membuat
kedua kakinya gemetaran. Rasa yang berkecamuk dalam hatinya membawanya berlari
jauh dari kedamaian.
Ia melangkah
lemah menggapai kursi reot di samping dipan dan terduduk lesu di sana. Jari
telunjuknya mengetuk-ngetuk mengikuti irama hati. Selang beberapa saat, ia
tenggelam dalam fikiran.
Tiga hari sudah
anak gadisnya kawin lari, meninggalkan luka yang menganga di hatinya, juga
batuk kronis yang telah lama dideritanya. Si gadis menjadi nekat setelah
seminggu yang lalu pinangan kekasihnya ditolak mentah-mentah oleh sang Ayah.
Egonya yang terus menekan membawanya berfikir konstan. Belum lagi elegy
kebahagiaan yang menantinya di perempatan cinta. Maka di ujung malam, dia
membuka pintu rumah lebar-lebar dan menggeletakkan sebuah kertas berlipat di
atas meja makan untuk ayahnya.
Kala membaca
surat kecil itu, ragam macam emosi menggelegak di hati Ayah. Kata demi kata
yang terurai melumpuhkan fikirannya. Dia terbengong, memandang kosong.
“Ayah!!” Seru
seorang anak muda dari luar tampak sangat terburu-buru.
Ia terdiam.
Anak muda itu
masuk menerobos pintu yang sudah terbuka. Dia ngos-ngosan seperti anak SD yang kelelahan mengejar bus sekolah
yang meninggalkannya.
“Ayah..” Sapanya
lirih pada si lelaki tua yang terduduk lemah di lantai kotor, sambil
menggenggam kertas yang berisi kabar kematian semangat Kartini.
“Restu…” Panggil
Ayah hampir tak terdengar.
Restu mendekat
dan mengikuti Ayah duduk di lantai.
“Dia telah
melalaikan perjuangan Kartini. Bagaimana bisa dia melupakan jerih payah
Raden Adjeng Kartini yang telah memperjuangkan hak perempuan akan pendidikan?!”
Kritik Ayah. Kekecewaannya tertumpah, terderai bersama buliran-buliran yang
mulai jatuh di pipinya.
“Maafkan saya
Ayah karena tidak bisa menjaga Kartika dengan baik.” Ujar Restu penuh
penyesalan.
“Tidak Restu.
Kamu tidak bersalah. Kartika juga tidak bersalah. Yang salah adalah cinta.
Cinta yang buta!” Tegas Ayah.
“Cinta itu telah
membutakan Kartika terhadap perjuangan Kartini!!” Seru Ayah menggelegar.
“Aku gagal Tu.
Aku gagal membentuk Kartini muda dari darah dagingku sendiri.” Sambungnya
dengan suara yang mulai melemah karena sesal bercampur kesal.
“Biarlah mimpi
ini tak pernah terwujud dan akan aku bawa ke liang lahat.” Suaranya semakin
lirih.
Anak gadisnya
yang cantik, Kartika, telah menghanyutkan mimpinya. Putri semata wayangnya itu,
yang tumbuh meremaja tanpa Ibu, dan menjadi dewasa oleh jerih payah dan
peluhnya sendiri, baru saja menapaki setengah perjalanan di universitas.
Semangat Ayah dalam memenuhi pendidikannya menggebu-gebu, bukti titisan
semangat Kartini yang ia simpan dalam hidup. Namun sayang harus terhenti begitu
saja, tak ubahnya seekor rusa yang terkena peluru senapan pemburu, tergeletak
lemah tak bernyawa.
Sudah hampir di
penghujung malam, Ayah belum juga tertidur. Matanya terpejam tapi tak pulas,
fikirannya berhenti tapi tak tenang, hatinya membaik tapi tak sembuh. Remang
cahaya mengingatkannya pada senja kemarin. Di sebuah sore bersenja lumpuh
termakan pilu, dia mencoba menelepon putrinya.
“Halo…” Sapa si
anak perempuan begitu sumringah.
Dari sepatah
kata sapaan itu terpancar jelas sinar kebahagiaan.
“Halo Kartika,
ini Ayah.” Jawabnya hambar dan menggantung.
Ruang
pendengarannya mendadak sunyi. Kartika tak berkata-kata lagi. Ia pun tak mau
melanjutkan cerita. Mereka terdiam lama sekali, sampai akhirnya Ayah pergi
meninggalkan gagang telepon, merasa marah entah pada siapa. Apakah kepada
Kartika? Ataukah dirinya? Ataukah mimpinya?
Sembari
mengenang senja, fajar pun melintang di balik jendela. Fajar yang menyala,
menjanjikan hari yang cerah. Ayah terbatuk kesal, merutuk mengapa di pagi ini
masih ada nyawanya. Dia bangun perlahan, berjalan kea rah jendela, membukanya,
dan memandang satu dua bintang yang masih memancar di langit sana.
Sambil
memperbaiki selimut yang membalut tubuhnya, ia berbisik kepada embun yang tak
terlihat, meminta ketiadaan.
“Brak!!!”
Tiba-tiba terdengar suara pintu didobrak memekakkan ruang hampa, disusul derap
langkah yang mendekati bilik istirahatnya.
Matanya terpejam
tetapi telinganya awas. Suara jejak kaki itu bertambah satu per satu. Suaranya
begitu terburu-buru, seperti sedang membawa pesan maut untuk Ayah.
Tepat ketika
suara langkah berhenti di depan pintu, Ayah menarik selendang bersulam emas
hingga paku penjepitnya terpelanting jatuh, kemudian melemparkannya keluar
jendela.
“Jangan ikuti
aku. Jangan berakhir sepertiku.” Ujarnya sambil menutup jendela rapat-rapat.
Ketika ia
berbalik, knop pintu mulai bergerak. Segera pintu terdorong dengan kasar.
Segerombolan orang masuk dan senyum sinis seseorang bersetelan jas tergambar di
hadapannya.
“Kembalikan
uangku, penghutang!!” Hardiknya pada Ayah.
Ayah tersenyum.
Baying-bayang kematian terlihat semakin nyata di depannya.
“Bayar hutangmu
aku bilang!!” Bentaknya kasar.
“Aku tidak punya
uang.” Jawab Ayah dengan tenang.
“Cih, orang
miskin berani berhutang!” Cibirnya.
“Bos, banyak
barang antic di rumah ini. Pasti mahal.” Lapor seorang anak buahnya yang baru
selesai menjelajahi seisi rumah.
“Sita semua!”
Perintahnya.
“Baik!” Jawab
ketujuh anak buahnya bersamaan.
“Ambil semua!!”
Seru Ayah tiba-tiba.
“Ambil semua
yang ku punya!! Termasuk nyawaku ini!!” Ulangnya semakin nyaring.
“Jangan banyak
omong!!” Sergap si ketua gerombolan sambil mengarahkan pistol hitam ke jantung
Ayah. Pelurunya melayang dan Ayah terjatuh menubruk lantai.
ϙϙϙϙϙ
“Kartika!!”
Teriaknya pada sepasang mempelai yang baru saja akan memulai pernikahan.
Sontak mempelai
wanita menoleh.
“Restu…”
Gumamnya.
Semua
orang mengikuti arah pandangannya, lalu terkejut setelah mendapati seorang pemuda tampan berdiri
dengan keringat bercucuran dan darah memenuhi kedua tangannya, memegang sebuah
selendang yang menyilaukan.
Kartika
segera bangkit menghampiri, dia memandang penuh tanya kepada Restu yang
berusaha keras untuk terlihat tenang.
“Rentenir
itu datang Kartika. Dia menembak Ayah.” Cerita Restu dengan tenggorokan
tercekat.
Kartika berdiri mematung, terkejut,
berkaca-kaca.
“Hanya
ini yang bisa ku selamatkan. Mereka mengambil semuanya, termasuk juga rumah.”
Sambung Restu.
Kartika memelototi tatapan prihatin
Restu.
“Mereka
membakar rumahmu setelah mengeluarkan jasad Ayah.” Jelasnya menjawab pertanyaan
Kartika yang tak terlerai.
Seketika tangis Kartika meledak.
“Ambil
ini. Ini hadiah Ayah untukmu.” Kata Restu sambil menyodorkan selendang yang
dipegangnya.
Kartika
mengambilnya, mendekapnya, membiarkan air mata yang bercucuran membasahinya.
Tanpa sadar kedua matanya menangkat tulisan di balik lipatan selendang itu.
06
Juli 1996
Teruntuk
Kartika, putri Ayah. Hari ini adalah hari
di mana nama sakralmu disematkan. Ayah baru saja selesai merenung,
karena bingung memilih nama untukmu. Apakah Kartini atau Kartika? Hingga
akhirnya Ayah membisikkan nama Kartika di telingamu untuk pertama kalinya. Kau
tahu kenapa? Karena Ayah takut akan salah memeilih antara engkau dan Kartini di
syurga nanti.
Tetapi
Ayah harap, tubuh mungil sucimu ini kelak akan menjelma menjadi serpihan kepribadian
Kartini yang mulia nan agung. Semoga telinga kecilmu dapat mendengarkan harapan
Ayah, Nak. Dan hati bersihmu menerimanya sehingga otak cerdasmu mampu
mencernanya. Lalu pada akhirnya, gerak kesempurnaan tubuhmu memperjuangkannya.
Salam, Ayah.
Tangis
Kartika semakin meluap. Kesedihannya merongrong dalam. Dia berlari kencang
meninggalkan semua orang yang terbengong.
“Kartika!!”
Panggil Restu beberapa kali, tetapi tak berbuah. Namun di balik
kekhawatirannya, pemuda itu senang melihat Kartika yang akhirnya tersadar. Ayah
pasti senang melihat sahabat baiknya itu kembali pulang, seperti juga hatinya
yang bersorak.
Tak
lama sepeninggal Kartika, datang sebuah mobil jip ke halaman rumah calon pengantin. Jip itu seperti yang
dilihat Restu di rumah Kartika sebelum kebakaran tadi pagi.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar