Kamis, 21 April 2016

Cerpen : Selendang Kartini


Bayangan-bayangan benda menari lembut mengikuti alunan angin yang mengayunkan nyala api di bawah dipan sederhana yang meringkuk. Selimut tua terjuntai gemulai hampir menyentuh sambaran lidahnya yang semakin jinak. Sepertinya ia juga rindu kehangatan seperti tuannya yang berdiri terpaku memandang lurus ke dinding. Sudah hampir tengah malam, cahaya api mulai redup, namun sepasang mata lelaki tua beruban itu semakin menyala.
Pada ruang pengelihatannya yang tajam menikam, tergelar selendang perak bersulam emas. Sebuah benda pusaka miliknya yang ia tenun dengan letih tanpa pamrih. Selendang yang tertempel di dinding sempit ruang tidurnya yang tak terjamah. Sebuah selendang bertajuk mimpi dan harapannya.
Ia menyorot rindu pada wajah yang terukir di lempengan kanan benda perak itu, tangannya perlahan terangkat dan membelai lembut pipi timbul bergurat tegar. Detak jantungnya berpacu, beradu dengan kekecewaan yang menyergap asanya.
“Kartini…” Gumamnya memandang masuk ke kedua mata sketsa itu.
Dia menarik nafas berat lalu menghembuskannya perlahan. Dia menunduk dalam sembari terpejam, memberi hormat pada sunggingan senyum tipis di hadapannya.
Sorot matanya berubah marah dan menghakimi, ketika menilik sebait kalimat di sisi kanan bawah selendang. Tulisan tangannya sendiri menggunakan jarum berbenang emas. Deru nafasnya memburu tetapi kemudian melemah, seiring gerak tubuhnya. Rasa lelah meminang letih, mereka menikah dan bercumbu, membuat lelaki tua itu tak kuat berdiri lagi. Kepenatan otaknya menjalar turun mengundang getaran yang membuat kedua kakinya gemetaran. Rasa yang berkecamuk dalam hatinya membawanya berlari jauh dari kedamaian.
Ia melangkah lemah menggapai kursi reot di samping dipan dan terduduk lesu di sana. Jari telunjuknya mengetuk-ngetuk mengikuti irama hati. Selang beberapa saat, ia tenggelam dalam fikiran.
Tiga hari sudah anak gadisnya kawin lari, meninggalkan luka yang menganga di hatinya, juga batuk kronis yang telah lama dideritanya. Si gadis menjadi nekat setelah seminggu yang lalu pinangan kekasihnya ditolak mentah-mentah oleh sang Ayah. Egonya yang terus menekan membawanya berfikir konstan. Belum lagi elegy kebahagiaan yang menantinya di perempatan cinta. Maka di ujung malam, dia membuka pintu rumah lebar-lebar dan menggeletakkan sebuah kertas berlipat di atas meja makan untuk ayahnya.
Kala membaca surat kecil itu, ragam macam emosi menggelegak di hati Ayah. Kata demi kata yang terurai melumpuhkan fikirannya. Dia terbengong, memandang kosong.
“Ayah!!” Seru seorang anak muda dari luar tampak sangat terburu-buru.
Ia terdiam.
Anak muda itu masuk menerobos pintu yang sudah terbuka. Dia ngos-ngosan seperti anak SD yang kelelahan mengejar bus sekolah yang meninggalkannya.
“Ayah..” Sapanya lirih pada si lelaki tua yang terduduk lemah di lantai kotor, sambil menggenggam kertas yang berisi kabar kematian semangat Kartini.
“Restu…” Panggil Ayah hampir tak terdengar.
Restu mendekat dan mengikuti Ayah duduk di lantai.
“Dia telah melalaikan perjuangan  Kartini. Bagaimana   bisa  dia   melupakan    jerih payah Raden Adjeng Kartini yang telah memperjuangkan hak perempuan akan pendidikan?!” Kritik Ayah. Kekecewaannya tertumpah, terderai bersama buliran-buliran yang mulai jatuh di pipinya.
“Maafkan saya Ayah karena tidak bisa menjaga Kartika dengan baik.” Ujar Restu penuh penyesalan.
“Tidak Restu. Kamu tidak bersalah. Kartika juga tidak bersalah. Yang salah adalah cinta. Cinta yang buta!” Tegas Ayah.
“Cinta itu telah membutakan Kartika terhadap perjuangan Kartini!!” Seru Ayah menggelegar.
“Aku gagal Tu. Aku gagal membentuk Kartini muda dari darah dagingku sendiri.” Sambungnya dengan suara yang mulai melemah karena sesal bercampur kesal.
“Biarlah mimpi ini tak pernah terwujud dan akan aku bawa ke liang lahat.” Suaranya semakin lirih.
Anak gadisnya yang cantik, Kartika, telah menghanyutkan mimpinya. Putri semata wayangnya itu, yang tumbuh meremaja tanpa Ibu, dan menjadi dewasa oleh jerih payah dan peluhnya sendiri, baru saja menapaki setengah perjalanan di universitas. Semangat Ayah dalam memenuhi pendidikannya menggebu-gebu, bukti titisan semangat Kartini yang ia simpan dalam hidup. Namun sayang harus terhenti begitu saja, tak ubahnya seekor rusa yang terkena peluru senapan pemburu, tergeletak lemah tak bernyawa.
Sudah hampir di penghujung malam, Ayah belum juga tertidur. Matanya terpejam tapi tak pulas, fikirannya berhenti tapi tak tenang, hatinya membaik tapi tak sembuh. Remang cahaya mengingatkannya pada senja kemarin. Di sebuah sore bersenja lumpuh termakan pilu, dia mencoba menelepon putrinya.
“Halo…” Sapa si anak perempuan begitu sumringah.
Dari sepatah kata sapaan itu terpancar jelas sinar kebahagiaan.
“Halo Kartika, ini Ayah.” Jawabnya hambar dan menggantung.
Ruang pendengarannya mendadak sunyi. Kartika tak berkata-kata lagi. Ia pun tak mau melanjutkan cerita. Mereka terdiam lama sekali, sampai akhirnya Ayah pergi meninggalkan gagang telepon, merasa marah entah pada siapa. Apakah kepada Kartika? Ataukah dirinya? Ataukah mimpinya?
Sembari mengenang senja, fajar pun melintang di balik jendela. Fajar yang menyala, menjanjikan hari yang cerah. Ayah terbatuk kesal, merutuk mengapa di pagi ini masih ada nyawanya. Dia bangun perlahan, berjalan kea rah jendela, membukanya, dan memandang satu dua bintang yang masih memancar di langit sana.
Sambil memperbaiki selimut yang membalut tubuhnya, ia berbisik kepada embun yang tak terlihat, meminta ketiadaan.
“Brak!!!” Tiba-tiba terdengar suara pintu didobrak memekakkan ruang hampa, disusul derap langkah yang mendekati bilik istirahatnya.
Matanya terpejam tetapi telinganya awas. Suara jejak kaki itu bertambah satu per satu. Suaranya begitu terburu-buru, seperti sedang membawa pesan maut untuk Ayah.
Tepat ketika suara langkah berhenti di depan pintu, Ayah menarik selendang bersulam emas hingga paku penjepitnya terpelanting jatuh, kemudian melemparkannya keluar jendela.
“Jangan ikuti aku. Jangan berakhir sepertiku.” Ujarnya sambil menutup jendela rapat-rapat.
Ketika ia berbalik, knop pintu mulai bergerak. Segera pintu terdorong dengan kasar. Segerombolan orang masuk dan senyum sinis seseorang bersetelan jas tergambar di hadapannya.
“Kembalikan uangku, penghutang!!” Hardiknya pada Ayah.
Ayah tersenyum. Baying-bayang kematian terlihat semakin nyata di depannya.
“Bayar hutangmu aku bilang!!” Bentaknya kasar.
“Aku tidak punya uang.” Jawab Ayah dengan tenang.
“Cih, orang miskin berani berhutang!” Cibirnya.
“Bos, banyak barang antic di rumah ini. Pasti mahal.” Lapor seorang anak buahnya yang baru selesai menjelajahi seisi rumah.
“Sita semua!” Perintahnya.
“Baik!” Jawab ketujuh anak buahnya bersamaan.
“Ambil semua!!” Seru Ayah tiba-tiba.
“Ambil semua yang ku punya!! Termasuk nyawaku ini!!” Ulangnya semakin nyaring.
“Jangan banyak omong!!” Sergap si ketua gerombolan sambil mengarahkan pistol hitam ke jantung Ayah. Pelurunya melayang dan Ayah terjatuh menubruk lantai.

ϙϙϙϙϙ

“Kartika!!” Teriaknya pada sepasang mempelai yang baru saja akan memulai pernikahan.
Sontak mempelai wanita menoleh.
“Restu…” Gumamnya.
Semua orang mengikuti arah pandangannya, lalu terkejut setelah mendapati seorang pemuda tampan berdiri dengan keringat bercucuran dan darah memenuhi kedua tangannya, memegang sebuah selendang yang menyilaukan.
Kartika segera bangkit menghampiri, dia memandang penuh tanya kepada Restu yang berusaha keras untuk terlihat tenang.
“Rentenir itu datang Kartika. Dia menembak Ayah.” Cerita Restu dengan tenggorokan tercekat.
Kartika berdiri mematung, terkejut, berkaca-kaca.
“Hanya ini yang bisa ku selamatkan. Mereka mengambil semuanya, termasuk juga rumah.” Sambung Restu.
Kartika memelototi tatapan prihatin Restu.
“Mereka membakar rumahmu setelah mengeluarkan jasad Ayah.” Jelasnya menjawab pertanyaan Kartika yang tak terlerai.
Seketika tangis Kartika meledak.
“Ambil ini. Ini hadiah Ayah untukmu.” Kata Restu sambil menyodorkan selendang yang dipegangnya.
Kartika mengambilnya, mendekapnya, membiarkan air mata yang bercucuran membasahinya. Tanpa sadar kedua matanya menangkat tulisan di balik lipatan selendang itu.
06 Juli 1996
Teruntuk Kartika, putri Ayah. Hari ini adalah hari  di mana nama sakralmu disematkan. Ayah baru saja selesai merenung, karena bingung memilih nama untukmu. Apakah Kartini atau Kartika? Hingga akhirnya Ayah membisikkan nama Kartika di telingamu untuk pertama kalinya. Kau tahu kenapa? Karena Ayah takut akan salah memeilih antara engkau dan Kartini di syurga nanti.
Tetapi Ayah harap, tubuh mungil sucimu ini kelak akan menjelma menjadi serpihan kepribadian Kartini yang mulia nan agung. Semoga telinga kecilmu dapat mendengarkan harapan Ayah, Nak. Dan hati bersihmu menerimanya sehingga otak cerdasmu mampu mencernanya. Lalu pada akhirnya, gerak kesempurnaan tubuhmu memperjuangkannya.
Salam, Ayah.

Tangis Kartika semakin meluap. Kesedihannya merongrong dalam. Dia berlari kencang meninggalkan semua orang yang terbengong.
“Kartika!!” Panggil Restu beberapa kali, tetapi tak berbuah. Namun di balik kekhawatirannya, pemuda itu senang melihat Kartika yang akhirnya tersadar. Ayah pasti senang melihat sahabat baiknya itu kembali pulang, seperti juga hatinya yang bersorak.
Tak lama sepeninggal Kartika, datang sebuah mobil jip ke halaman rumah calon pengantin. Jip itu seperti yang dilihat Restu di rumah Kartika sebelum kebakaran tadi pagi.

TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar