Luna
apa kabar? Lama tidak berjumpa, apakah kau masih cantik seperti dulu? Aku harap
kau mengatakan Ya.
Luna,
aku rindu sepasang gigi kelincimu, juga senyum manismu yang bersinar seperti
bulan sabit. Dan keseharianmu yang cerah seperti langit di pagi hari.
Luna,
aku ingin bertanya, apakah kau naik bus setiap kali pergi ke sekolah? Apakah
polusi-polusi kota tidak merusak kulit mulusmu?
Aku
ingin bercerita kepadamu bahwa di sini, aku ke sekolah dengan berjalan kaki
setiap hari. Dalam jarak yang panjang, aku dan teman-teman berlari dan
bergembira ria, karenanya aku tidak merasa lelah sedikitpun.
Luna,
apakah di sana kau memiliki banyak teman? Apakah para tetanggamu di kota tidak
menutup pintu mereka rapat-rapat?
Di
sini, aku dan teman-temanku bercengkerama riang di halaman rumah, sambil
menunggu ranumnya buah mangga yang sebentar lagi akan dipanen.
Luna,
adakah pohon mangga di depan rumahmu? Berapa luas halaman rumahmu? Tapi
sepertinya kau hanya panen uang dari gedung menjulang yang menutupi tubuhmu dengan
bayangan megahnya.
Kehidupan
kami di sini masih sederhana. Apa kamu ingat, ketika dahulu kita memakan
sepotong ubi kayu bakar berdua? Kamu selalu ingin memakan bagian tengahnya, dan
menyisakan untukku ujung ubi yang keras. Jika ingat ketika itu, aku sangat
ingin mengutukmu menjadi ubi agar aku bisa memakanmu sehingga aku tidak lagi
merasa lapar.
Luna,
apakah sekarang ada ubi kayu yang kau tanam di bawah tembok sejuk rumahmu? Ah,
mungkin tidak ada. Kau pasti tidak makan ubi lagi, ya kan? Karena kulkasmu di
dapur sudah terisi penuh oleh beriris-iris keju. Kau pasti melahap keju itu
dengan nikmat. Keju yang diracik oleh tangan-tangan terampil pekerja ibu kota.
Mereka bekerja di bawah langit-langit gedung dan terbungkus udara yang sejuk.
Terik
di sini semakin mengaum. Matahari mencakar setiap sudut desa. Meski begitu,
bibi-bibi kita tetap tersenyum saat bergulat dengan ulat-ulat dan belalang di
ladang.
Luna,
aku ingin kita mendiskusikan sesuatu. Tentang awan yang berarak tidak pernah
meminta bayaran seperti calo-calo nakal di pelabuhan. Dia memandang kasihan ke
arah Pak Tua yang terseok-seok menaiki kaki bukit. Sementara nun jauh di sana,
Pak Tua yang lain sedang tertidur pulas di atas tumpukan rupiah yang menggunung.
Arakan awan berlari mengejar Pak Tua, bukan untuk berharap diberi segumpal
daging seperti kucing yang kelaparan, tetapi untuk menelusup ke ruang kepala
Pak Tua, meski beberapa detik saja.
Pak
Tua yang jangkung setinggi tiga tumpuk lebih kurcaci. Tulang selangkanya
terlihat jelas menyokong leher panjang yang menyangga kepalanya. Uban-uban
berserakan menggusur rambut hitamnya. Aku bertanya-tanya, apakah Pak Tua belum
makan siang? Perutnya begitu tipis. Kulitnya tampak dekil oleh tanah. Tunggu,
apakah tak ada sisa logam hanya untuk membeli sepasang sandal murah? Sungguh
kasihan kaki telanjangnya yang berjalan menapaki setapak penuh ranting semak
yang berguguran.
Kamu
tahu Luna? Arakan awan itu masih setia menemaninya. Lebih setia daripada hati
wakil rakyat yang tengah beristirahat di persimpangan. Tidakkah mereka ingin
menemani Pak Tua berjalan-jalan santai di pelataran bukit? Ah, lupakan. Mereka
pasti tengah asik berpetualang di Eropa.
Luna,
hal lain yang ingin aku bicarakan.
Sebentar
lagi, Pak Tua akan panen kopi. Anak gadisnya menunggu untuk diajak ke pasar
berbelanja. Dia ingin membeli baju baru harga tiga puluh ribu, serta kerudung
berbakal murahan yang sedang tren di desa.
Sementara
teman-temanmu di sana memiliki bertumpuk-tumpuk gaun sutra yang disimpan rapi
di dalam lemari kaca. Bermeter-meter panjang laci, tersimpan berpuluh-puluh
gram emas murni 24 karat milik istri pejabat.
Luna,
Pak Tua terlihat kelelahan mendongak biji kopi yang sudah memerah. Senyum
merekah hinggap di bibirnya, membiaskan rasa syukur dari hatinya.
Bintang-gemintang gaib meneropongnya, memerintahkan kepada angin untuk
menghiburnya. Tak lama kemudian, Pak Tua berbalik dan menyeret langkahnya
menuju gubuk reot di pojok ladang. Dia terduduk letih menyapu sekitar dengan
pandangannya. Pohon-pohon kopi yang kurus berdiri tegak. Mereka telah menua
seperti dirinya.
Pandangannya
tidak berkedip menapaki kenangan masa silam. Ibunya yang bungkuk berwasiat
bahwa sepetak tanah ini untuknya.
Sementara wanita tua yang lain, lebih gemar menyaksikan anak-anaknya berseteru
memperebutkan sebidang tanah sempit di ujung kampung. Pak Tua tersenyum masam
seraya merogoh kantong celananya, tiga biji kopi berhasil dia keluarkan. Dia mengamatinya
penuh harapan.
Luna
aku ingin kau tahu, anak gadis Pak Tua menangis dan mengurung diri di kamar.
Dia gagal memiliki baju baru. Hasil panen kopi hanya mampu menjamah harga beras
dan sedikit lauk-pauk. Tidakkah udara membisikkan kepada saudagar-saudagar
sangar itu? Tentang perjuangan Pak Tua mendorong gerobak kayu yang berat,
menuruni bukit penuh batu dan semak tajam, kadang kala ikut tergelincir jatuh
terdorong angin. Tapi Pak Tua yang perkasa, bangkit kembali, meski dengan susah
payah, dia akhirnya bisa berdiri tegak. Dengan begitu, mereka dapat
mempertimbangkan segelintir uang logam tambahan untuk menyokong mimpi anak
gadis Pak Tua.
Luna,
kemarin aku pergi ke warung untuk menukar beberapa buah pepaya dengan satu kilo
gram beras. Di sana aku melihat kopi-kopi instan bergelantungan. Saat ku tanya
harganya, langsung ku ingat tentang tumpukan baju baru di toko murah di
perempatan pasar. Dengan harga ini, bukankah Pak Tua bisa membelikan
berlusin-lusin baju baru untuk si gadis? Atau bahkan mampu memberikan sepasang
baju baru untuk warga sekampung.
Aku
tahu Luna, sebiji kopi dari ladang Pak Tua butuh biaya banyak untuk
mengantarkannya ke pabrik. Tapi tidakkah kau miris melihat harga untuk
segerobak penuh biji kopi Pak Tua hanya cukup untuk sangu beberapa bulan saja.
Lalu untuk sisa bulan sebelum panen, Pak Tua hendak makan apa?
Coba
kau fikir Luna, mereka di sana kebingungan hendak membeli apa, tetapi Pak Tua
di sini bingung hendak membeli dengan apa.
Suatu
hari yang sangat melelahkan, Pak Tua merutuki diri, mengapa ia tak jadi
presiden saja?
Tapi
Luna, aku kembali berfikir. Apa yang diharapkan Pak Tua dari seorang presiden?
Apakah singgasana megah yang terduduk kokok di istana negara? Atau
iring-iringan besar para jenderal? Ataukah sapaan hormat para kaki tangan yang
hobi menjilat? Ku rasa bukan.
Pak
Tua pasti mengincar kebebasan. Kebebasan untuk melukis sketsa perubahan.
Baginya yang bijaksana, dia tidak hendak meratakan bukit, justru akan menanam
barisan beribu pohon cemara di pinggiran. Sehingga monyet pun akan merasa nyaman
berkejar-kejaran di kaki bukit.
Luna,
aku lelah bercerita tentang biji kopi dan mimpi Pak Tua. Aku akan menceritakan
kepadamu segulung rindu yang tersimpan di bawah tikar.
Rindu
itu milik Pak Tua yang dia pendam bertahun-tahun lamanya. Untuk istrinya yang
terakhir kali dia temui di terminal bus, menjelang terik beberapa tahun silam.
Sangat
tergambar jelas, raut wajah kesedihan melepas kepergiannya menuju pelabuhan.
Istrinya berdadah sembari berusaha menyatukan puing-puing hati yang pilu.
Kepergian Pak Tua menyiratkan bergaris-garis kekhawatiran. Istrinya tidak ingin
membiarkan dia pergi, tetapi apa daya, kemiskinan telah terkapar lama di
kehidupan mereka.
Kala
itu, anak gadis Pak Tua masih di dalam kandungan. Otot-otot tubuh Pak Tua masih
kokoh. Pak Tua pergi mengadu nasib ke negeri seberang sebagai buruh sawit.
Bulan-bulan
pertama sangat menyenangkan. Istrinya tak pernah kurang satu apa pun karena Pak
Tua selalu mengirim jatah gajian. Istrinya hidup mewah berkat kucuran keringatnya.
Dia berlangganan hutang di setiap pedagang pakaian keliling. Kiriman uang dari
Pak Tua dengan setia menyokongnya. Anak perempuan menjadi manja. Dibelikannya
gadis kecilnya alat-alat riasan yang bagus dan mahal. Rumah sempit mereka penuh
dengan barang-barang mewah. Sang istri terluntang-lantung belanja sana-sini
tanpa menyisakan tabungan. Bahkan warga kampung memujanya orang kaya baru,
membuatnya begitu bangga akan dirinya.
Tapi
Luna, bulan-bulan terakhir menjelang masa akhir kontraknya, Pak Tua beserta
kiriman uangnya menghilang. Istrinya menjadi resah dan gusar mengingat tidak
ada lagi uang yang tertidur di bawah kasur. Para pedagang keliling bergantian
menagih hutangnya, dan tidak jarang mereka pulang dengan makian menyelimuti
mulut mereka di perjalanan. Gadis kecilnya merengek minta belanja. Tapi apa
hendak dikata, bahkan untuk makan nasi saja si ibu tak punya apa-apa.
Luna,
aku ingin memberitahumu, inilah yang fatal dari kebiasaan boros itu. Istri Pak
Tua berjalan siang dan malam meninggalkan gadis kecilnya menangis seorang diri
di dalam rumah yang terkunci. Berjengkal-jengkal lintasannya, para petani
selalu berteriak ramai mengumumkan ketimun mereka tiba-tiba menghilang. Para
petani pun berkumpul di rumah pak RT, berbincang untuk mencari tahu siapa
pencuri itu.
Mereka
menerka-nerka, apakah ada kancil kelaparan yang turun dari hutan? Lalu semua
petani bersiap-siap untuk berburu kancil. Mereka membawa bambu runcing, kayu,
arit, pisau, juga panah. Mereka beramai-ramai menuju ladang, menyusun strategi
dan membentuk kelompok untuk mengintai pergerakan si kancil di setiap bidang
ladang ketimun. Rasa amarah menyuar keluar seperti embukan lava panas gunung
merapi. Kancil kurang ajar! Umpat seseorang.
Tak
lama kemudian terdengar teriakan di ujung utara. Tepatnya di sebuah ladang yang
terletak di tanjakan terjal bukit. Serentak seluruh petani berlarian ke sana.
“Kancilnya
tertangkap! Kancilnya tertangkap!” Seru mereka.
Setelah
tiba di sana, satu per satu orang tertegun dengan mulut menganga, melihat
seorang wanita tergelepar di depan mereka, tertusuk anak panah.
“Ini
dia ibu kancil!” Ujar seseorang yang memanah kepada semua yang datang.
Sementara orang yang dipanah itu tak sadarkan diri.
Sejak
saat itu Luna, gadis kecil Pak Tua tak pernah lagi melihat ibunya, dan tak
kunjung juga melihat ayahnya. Dia hidup mengandalkan belas kasihan para
tetangga. Hingga suatu hari di usianya yang ke lima belas, Pak Tua datang
mengetuk pintu rumah.
Gadis
yang beranjak remaja itu berdiri tegap menatap wajah cekung Pak Tua yang
berdiri di depan pintu. Kerutan bersusun-susun di dahinya, dia bertanya-tanya
dalam hati, siapakah gerangan laki-laki tua yang di depannya ini? Pak Tua pun
demikian, dia menatap gadis itu penuh tanya.
Luna,
aku ingin protes sedikit saja. Tidakkah dia ingat bahwa itu nyawa yang dia tinggalkan
dalam kandungan? Dia celingak-celinguk tanpa rasa berdosa, mencari seseorang di
balik pintu. Kemudian seorang tetangga datang.
“Ahai!!
Lihatlah siapa yang datang?!” Seru tetangga itu.
“Apakah
bapak ini saudara Bibi yang datang dari kota?” Tanya sang gadis dengan
polosnya.
Tetangga
itu terdiam, memandang bergantian antara Pak Tua dan anaknya.
“Nak,
ucapkan selamat datang kepada Ayahmu.” Ujar sang tetangga begitu lancarnya
sampai tak membiarkan kedua orang itu mencerna kalimatnya. Dia tidak menyadari
keterkejutan mereka.
Pak
Tua mendekat dengan mata berkaca-kaca. Wajahnya tampak tertekan. Dari sorot
matanya jelas terlihat perasaan bersalah yang berlipat-lipat kepada gadis yang
bengong memandangnya. Kedua tangannya menggapai pipi gadis itu, merasakan
betapa keringnya pipi itu. Buliran air mata berjatuhan membasahinya. Pak Tua
mengusapnya sambil menangis tersedu-sedu. Tetangga itu pun ikut terharu
menyaksikan anak dan bapak itu berpelukan.
Sejak
saat itu, Pak Tua hidup nyaman dengan putrinya, menjadi petani kopi yang hidup
sederhana. Dan gadis remaja itu tumbuh menjadi gadis cantik yang sesungguhnya.
Pak Tua selalu berlinang air mata setiap kali menatap wajah anak gadisnya.
Wajah itu mengingatkan dia akan istrinya yang tak sempat ia jumpai sepulang
dari perantauan.
Dulu,
Pak Tua berkeliling kampung menanyakan di mana istrinya berada. Namun semua
warga menjawab “Tidak tahu”. Dan ketika dia bertanya kepada putrinya, gadis itu
hanya menjawab singkat,
“Ibu
menghilang begitu saja.”
Pak
Tua pun akhirnya merelakan kepergian istrinya yang misterius. Dia melanjutkan
hidup berbekal kenangan manis yang tersisa. Memang tidak dapat dipungkiri, Pak
Tua dan istrinya masih pengantin baru ketika dia pergi dahulu. Dan
bertahun-tahun dia terdampar di negeri orang oleh karena fitnah seorang yang
bermulut besar. Dan ketika dia tiba di kampung halaman, tidak ada lagi
istrinya.
Luna,
kau mungkin lelah mendengarku, sekarang aku akan mengakhiri ceritaku.
Suatu
sore ketika Pak Tua merenungi kepedihannya melihat anak gadis yang berdiam
diri seharian di kamar, seoarang dari
kampung sebelah datang menemuinya. Orang itu bercerita,
“Pak,
rumahku berada di ujung utara kampung ini, atau tepatnya di perbatasan antara
kampung ini dan kampung kami. Di dekat rumahku ada sebuah gubuk, setiap malam
selalu terdengar tangis wanita tua dari sana. Wanita itu juga berteriak-teriak
di sela isaknya. Beberapa malam pertama, ku fikir itu hantu. Tetapi karena rasa
penasaran yang semakin menjadi-jadi, aku memberanikan diri mendekati sumber
suara. Akhirnya jelas ku dengar, bahwa suara itu berteriak memanggil namamu. Namun
aku tak bisa melihat siapa yang sebenarnya berteriak. Ketika aku mengintip ke
dalam, aku tak pernah bisa melihat siapa-siapa. Belakangan aku bertanya kepada
beberapa warga kampung. Mereka mengatakan, memang ada seorang wanita yang
dipasung di gubuk itu bertahun-tahun lamanya. Mungkin itulah kenapa, setiap aku
melintas pagi dan sore, selalu ada warga yang keluar gubuk sambil membawa
piring yang berisi sisa nasi.”
Pak
Tua membeku mencerna cerita itu.
ϙϙϙϙϙ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar