Semua
temanku bertanya-tanya, apa saja yang telah aku lakukan selama di universitas?
Ku katakan belajar, mereka tidak puas. Mereka malah mencibirku.
“Kau
jauh-jauh ke kota, kuliah di universitas terkenal se-provinsi, yang kau lakukan
hanya belajar? Jika yang kau lakukan hanya belajar, mengapa kau tak diam saja
di kampung ini. Setangkai buah padi akan mengajarkanmu.” Ujar salah seorang
dari mereka.
“Aku
fikir, dengan gayamu itu, kau sudah melakukan banyak hal untuk perubahan.”
Sambung yang lainnya.
“Heh,
apa kau yakin telah belajar selama bertahun-tahun kau di sana? Lalu mengapa
bukan kau yang dipanggil sebagai lulusan terbaik saat wisuda?” Kata yang lain
tak kalah menyakitkannya.
“Dasar
melempem!” Umpat yang satu lagi.
Aku
menelan ludah mendengarkan kata-kata mereka. Ini bukan pertama kalinya aku
dicerca. Dan Si Kuyuk itu, apa? Dia berbicara tentang perubahan? Memangnya dia
faham arti perubahan? Inginku tinju mereka satu per satu, tetapi kepalan tangan
ini rasanya kecil sekali untuk ukuran muka tebal mereka.
Dan
Si Botak, dia mengumpatku. Baiklah, aku tahu dia memiliki badan kekar, otot
besar serta tulang yang keras. Aku juga tahu dia memalak orang di jalanan
setiap hari. Si Jangkung, seolah dia sudah berhasil saja dengan pertaniannya.
Sekarang, dia bahkan menyebut-nyebut filosofi ilmu padi. Lalu Si Bulat, aku
tidak menyangka dia masih menyombongkan predikat siswa terbaiknya ketika
sekolah dasar dulu.
“Ku
rasa kalian semua sangat cerdas, tetapi sayang tidak berfikiran cerdas.”
Ungkapku membela diri.
“Maksudmu?”
Tanya Si Bulat.
“Kalian
orang cerdas. Mengeluarkan kalimat-kalimat luar biasa dengan gagah. Tetapi
kalian telah memotong kalimatku, Tetua!” Jawabku menghentakkan kata terakhir di
depan wajah mereka.
“Kau
katakan saja yang kau maksud, jangan bertele-tele!” Bentak Si Jangkung.
“Sejujurnya,
aku adalah dirijen grup musik.” Jawabku mantap.
Semua
mulut ternganga. Mereka pasti telah terkesima, fikirku sambil tersenyum menang.
“Ha-Ha-Hahahahaha,
apa kau mau aku percaya begitu saja? Dengan kulit hitammu ini, kau menjadi
dirijen grup musik? Jangan bercanda!” Timpal Si Kuyuk sambil terbahak-bahak.
“Baru
saja aku katakan kau cerdas, dan sekarang kau berlagak bodoh lagi?” Sergapku,
“Dirijen
grup musik itu tidak butuh kulit putih, tetapi butuh keterampilan dan
pengetahuan, bodoh!” Sambungku.
Kemudian
aku berbual tentang banyaknya pertunjukan yang telah aku hadiri. Ku katakan
kepada mereka bahwa aku adalah salah satu dirijen yang paling banyak dicari.
Audisi-audisi bukanlah levelku, justru akulah yang mengaudisi
manajemen-manajemen yang menawariku bergabung. Pertunjukan-pertunjukan besar di
ibu kota, luar kota bahkan luar negeri menjadi langganan undanganku. Kemeriahan
tepuk tangan membanjiri pertunjukan yang aku pimpin, buket-buket bunga
bergeletakan untukku, serta gemerlap cahaya potret menangkap wajahku. Tak
terhitung banyak penghargaan yang aku miliki. Bahkan undangan pertunjukan di
kota tempatku belajar banyak yang aku tolak.
Mereka
mendengarku tanpa berkedip dan bernafas. Menatap takjub ke arah mulutku yang
bercerita. Aku tergelitik geli dalam hati, menyaksikan wajah-wajah yang tadinya
sangat buas, kini tampak jinak hanya dengan bualan konyol yang aku karang.
“Heh
Kuyuk, apakah sekarang, menurutmu aku sudah melakukan perubahan?” Tanyaku
bangga. Si Kuyuk tersentak dan salah tingkah. Dia hanya bisa mengangguk kalah.
Kami
semua terdiam sejenak. Mungkin mereka sedang mencari-cari alasan untuk
memojokkanku kembali. Tetapi aku tidak gusar lagi. Aku siap melayangkan
sandiwara-sandiwara kata untuk menghantam mereka.
Dirijen
grup musik? Ini baru permulaan. Terkadang, aku juga merasa bingung terhadap
diriku sendiri. Mengapa aku begitu pandai berbicara palsu? Dirijen grup musik
itu, aku baru saja memikirkannya, namun entah mengapa aku sangat lancar
mengungkapkannya. Padahal aku hanya melihatnya di film-film, bahkan menurutku
itu pekerjaan yang membosankan. Melotot memperhatikan kertas musik sembari
tangan bergerak mengikuti alur nada. Lalu dengan konyolnya, pemain musik di
depan mengikutinya. Hei, bukankah mereka telah latihan sebelumnya? Tetapi
mereka berlaku seolah dirijen itulah rajanya. Namun memang begitulah
selayaknya, dirijen itu juga penting untuk kesempurnaan pertunjukan, meskipun
hanya sebagai formalitas belaka.
Bukankah
dalam kehidupan ini formalitas telah merajalela juga? Maka tidak ada salahnya
jika beribu-ribu dirijen berdiri di atas panggung megah.
Dan
lucunya lagi, teman-temanku ini, mereka terdiam lama sekali. Aku ingin tertawa
melihat mereka. Sesulit itukah mencari lawan atas tipuanku? Mereka justru
terbengong bodoh meratapi diri.
“Heh,
bisakah lain kali kau ajak kami untuk bergabung? Kami juga ingin naik pesawat!”
Seru si angkuh Kuyuk. Apa? Aku tidak percaya ini. Mengapa mereka yang justru
terjebak dalam perangkap?
“Aku
tidak mau. Tangan kasarmu tidak pantas untuk menyentuh kertas musik yang
indah.” Kataku melanjutkan sandiwara.
“Sombong
sekali kau, seperti tangan kau lembut saja.” Katanya membela diri.
“Lalu
bagaimana denganku? Aku pasti cocok kan?” Tanya Si Botak.
“Tidak.
Wajahmu terlalu sangar untuk pertunjukan musik.” Jawabku.
“Heh??
Apa kau fikir kau itu tampan?! Berani sekali kau!!” Serunya padaku dengan wajah
kesal.
Aku
tersenyum jahil mengejeknya.
“Aku
saja kalau begitu. Aku lebih baik dari mereka.” Kata Si Bulat mengacungkan
diri.
Aku
memelototinya, memperhatikan segenap tubuhnya dari atas hingga ke bawah.
“Kau
tidak akan dapat menjangkau kertas musik.” Jawabku santai.
Dia
pun menghujatku dengan kepalan tinjunya, merasa kesal.
Si
Jangkung perlahan-lahan bergeser ke sampingku. Dia menyikut bahuku, sorot
matanya memintaku untuk mempertimbangkannya.
“Bagaimana?”
Tanyanya berlagak seperti artis gadungan.
“Kau
tidak akan bisa.” Jawabku.
“Aku
akan belajar.” Katanya mantap.
“Hah?
Hahahahahahaha.” Tawaku terpingkal-pingkal.
Semua
bingung melihatku.
“Mengapa
kau tak belajar saja pada ribuan tangkai padimu di sawah.” Jelasku.
Mereka
tertegun mendengar perkataanku.
ϙϙϙϙϙ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar