Rabu, 18 Mei 2016

[CERPEN] - DIRIJEN GRUP MUSIK


Semua temanku bertanya-tanya, apa saja yang telah aku lakukan selama di universitas? Ku katakan belajar, mereka tidak puas. Mereka malah mencibirku.
“Kau jauh-jauh ke kota, kuliah di universitas terkenal se-provinsi, yang kau lakukan hanya belajar? Jika yang kau lakukan hanya belajar, mengapa kau tak diam saja di kampung ini. Setangkai buah padi akan mengajarkanmu.” Ujar salah seorang dari mereka.
“Aku fikir, dengan gayamu itu, kau sudah melakukan banyak hal untuk perubahan.” Sambung yang lainnya.
“Heh, apa kau yakin telah belajar selama bertahun-tahun kau di sana? Lalu mengapa bukan kau yang dipanggil sebagai lulusan terbaik saat wisuda?” Kata yang lain tak kalah menyakitkannya.
“Dasar melempem!” Umpat yang satu lagi.
Aku menelan ludah mendengarkan kata-kata mereka. Ini bukan pertama kalinya aku dicerca. Dan Si Kuyuk itu, apa? Dia berbicara tentang perubahan? Memangnya dia faham arti perubahan? Inginku tinju mereka satu per satu, tetapi kepalan tangan ini rasanya kecil sekali untuk ukuran muka tebal mereka.
Dan Si Botak, dia mengumpatku. Baiklah, aku tahu dia memiliki badan kekar, otot besar serta tulang yang keras. Aku juga tahu dia memalak orang di jalanan setiap hari. Si Jangkung, seolah dia sudah berhasil saja dengan pertaniannya. Sekarang, dia bahkan menyebut-nyebut filosofi ilmu padi. Lalu Si Bulat, aku tidak menyangka dia masih menyombongkan predikat siswa terbaiknya ketika sekolah dasar dulu.
“Ku rasa kalian semua sangat cerdas, tetapi sayang tidak berfikiran cerdas.” Ungkapku membela diri.
“Maksudmu?” Tanya Si Bulat.
“Kalian orang cerdas. Mengeluarkan kalimat-kalimat luar biasa dengan gagah. Tetapi kalian telah memotong kalimatku, Tetua!” Jawabku menghentakkan kata terakhir di depan wajah mereka.
“Kau katakan saja yang kau maksud, jangan bertele-tele!” Bentak Si Jangkung.
“Sejujurnya, aku adalah dirijen grup musik.” Jawabku mantap.
Semua mulut ternganga. Mereka pasti telah terkesima, fikirku sambil tersenyum menang.
“Ha-Ha-Hahahahaha, apa kau mau aku percaya begitu saja? Dengan kulit hitammu ini, kau menjadi dirijen grup musik? Jangan bercanda!” Timpal Si Kuyuk sambil terbahak-bahak.
“Baru saja aku katakan kau cerdas, dan sekarang kau berlagak bodoh lagi?” Sergapku,
“Dirijen grup musik itu tidak butuh kulit putih, tetapi butuh keterampilan dan pengetahuan, bodoh!” Sambungku.
Kemudian aku berbual tentang banyaknya pertunjukan yang telah aku hadiri. Ku katakan kepada mereka bahwa aku adalah salah satu dirijen yang paling banyak dicari. Audisi-audisi bukanlah levelku, justru akulah yang mengaudisi manajemen-manajemen yang menawariku bergabung. Pertunjukan-pertunjukan besar di ibu kota, luar kota bahkan luar negeri menjadi langganan undanganku. Kemeriahan tepuk tangan membanjiri pertunjukan yang aku pimpin, buket-buket bunga bergeletakan untukku, serta gemerlap cahaya potret menangkap wajahku. Tak terhitung banyak penghargaan yang aku miliki. Bahkan undangan pertunjukan di kota tempatku belajar banyak yang aku tolak.
Mereka mendengarku tanpa berkedip dan bernafas. Menatap takjub ke arah mulutku yang bercerita. Aku tergelitik geli dalam hati, menyaksikan wajah-wajah yang tadinya sangat buas, kini tampak jinak hanya dengan bualan konyol yang aku karang.
“Heh Kuyuk, apakah sekarang, menurutmu aku sudah melakukan perubahan?” Tanyaku bangga. Si Kuyuk tersentak dan salah tingkah. Dia hanya bisa mengangguk kalah.
Kami semua terdiam sejenak. Mungkin mereka sedang mencari-cari alasan untuk memojokkanku kembali. Tetapi aku tidak gusar lagi. Aku siap melayangkan sandiwara-sandiwara kata untuk menghantam mereka.
Dirijen grup musik? Ini baru permulaan. Terkadang, aku juga merasa bingung terhadap diriku sendiri. Mengapa aku begitu pandai berbicara palsu? Dirijen grup musik itu, aku baru saja memikirkannya, namun entah mengapa aku sangat lancar mengungkapkannya. Padahal aku hanya melihatnya di film-film, bahkan menurutku itu pekerjaan yang membosankan. Melotot memperhatikan kertas musik sembari tangan bergerak mengikuti alur nada. Lalu dengan konyolnya, pemain musik di depan mengikutinya. Hei, bukankah mereka telah latihan sebelumnya? Tetapi mereka berlaku seolah dirijen itulah rajanya. Namun memang begitulah selayaknya, dirijen itu juga penting untuk kesempurnaan pertunjukan, meskipun hanya sebagai formalitas belaka.
Bukankah dalam kehidupan ini formalitas telah merajalela juga? Maka tidak ada salahnya jika beribu-ribu dirijen berdiri di atas panggung megah.
Dan lucunya lagi, teman-temanku ini, mereka terdiam lama sekali. Aku ingin tertawa melihat mereka. Sesulit itukah mencari lawan atas tipuanku? Mereka justru terbengong bodoh meratapi diri.
“Heh, bisakah lain kali kau ajak kami untuk bergabung? Kami juga ingin naik pesawat!” Seru si angkuh Kuyuk. Apa? Aku tidak percaya ini. Mengapa mereka yang justru terjebak dalam perangkap?
“Aku tidak mau. Tangan kasarmu tidak pantas untuk menyentuh kertas musik yang indah.” Kataku melanjutkan sandiwara.
“Sombong sekali kau, seperti tangan kau lembut saja.” Katanya membela diri.
“Lalu bagaimana denganku? Aku pasti cocok kan?” Tanya Si Botak.
“Tidak. Wajahmu terlalu sangar untuk pertunjukan musik.” Jawabku.
“Heh?? Apa kau fikir kau itu tampan?! Berani sekali kau!!” Serunya padaku dengan wajah kesal.
Aku tersenyum jahil mengejeknya.
“Aku saja kalau begitu. Aku lebih baik dari mereka.” Kata Si Bulat mengacungkan diri.
Aku memelototinya, memperhatikan segenap tubuhnya dari atas hingga ke bawah.
“Kau tidak akan dapat menjangkau kertas musik.” Jawabku santai.
Dia pun menghujatku dengan kepalan tinjunya, merasa kesal.
Si Jangkung perlahan-lahan bergeser ke sampingku. Dia menyikut bahuku, sorot matanya memintaku untuk mempertimbangkannya.
“Bagaimana?” Tanyanya berlagak seperti artis gadungan.
“Kau tidak akan bisa.” Jawabku.
“Aku akan belajar.” Katanya mantap.
“Hah? Hahahahahahaha.” Tawaku terpingkal-pingkal.
Semua bingung melihatku.
“Mengapa kau tak belajar saja pada ribuan tangkai padimu di sawah.” Jelasku.
Mereka tertegun mendengar perkataanku.

ϙϙϙϙϙ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar