Problem
Sarjana : Kesempatan Kerja yang Melebur
Bersama
Jarum dalam Tumpukan Jerami
Sarjana, merupakan salah satu status manusia yang
bersifat ambigu. Bagaimana tidak, ketika dahulu berusia tujuh belas tahun,
sebagian besar orang sangat tergiur untuk cepat-cepat menjadi sarjana. Setelah
lulus Sekolah Menengah Atas (SMA), mereka dengan bangga memasuki sebuah
Universitas, atau Sekolah Tinggi, atau pun Institut,
berusaha mati-matian kuliah dengan rajin, selalu mengerjakan tugas tepat waktu,
juga belajar keras saat ujian. Itu semua dilakukan agar cepat lulus, mengejar
target agar dalam waktu dekat dapat menyandang gelar sarjana. Dinamika
mahasiswa, bahkan rela menelan kalimat-kalimat pedas bapak dan ibu dosen
pembimbing yang dengan polos mencoret lembar demi lembar skripsinya, demi
mendobrak pembatas terakhir menuju tahta sarjana.
Dan akhirnya wisuda. Semua bersorai, yey aku sudah
sarjana! Semua berlomba memamerkan potret dirinya mengenakan toga, kostum yang
begitu melegenda sepanjang masa. Semua rela merogoh gocek lebih dari kebutuhan
biasanya, demi untuk merayakan hari besar, hari wisuda, menyambut sebuah status
baru dalam fase hidupnya, Sarjana. Senyum merekah di setiap sudut, tak jarang
juga tawa melerai udara. Hari yang sangat bersahabat.
Tapi hari-hari berikutnya, Sang Sarjana mulai
hambar. Tidak ada lagi aktifitas kuliah seperti biasa, juga penjelasan dosen
yang membosankan. Tanpa sadar, dia merindukannya. Hari demi hari, Sang Sarjana
mulai keluar rumah dan tersenyum tanpa suara kepada para tetangga yang
bertanya, kerja di mana? Hal itu di luar dugaannya, bahwa ternyata gelar
sarjana telah memikulkannya beban berat, sebuah tekanan keras karena dia tidak
kunjung mendapatkan pekerjaan.
Dia perlahan mulai menyesal, menyalahkan diri telah
menjadi sarjana. Tunggu, jangan salahkan sarjana. Sarjana memang pantas
diperjuangkan dan diraih. Ia adalah mimpi besar, ia patut dibanggakan. Tapi
lihat apa yang dihadapi sarjana yang agung, kesempatan kerja yang menyusut.
Mencarinya hanya akan menegaskan kekonyolan, seperti mencari jarum dalam
tumpukan jerami. Coba tebak, berapa persen kesempatan yang ada, kecil. Karena
meskipun ada yang mengatakan kalau jarum itu berada di tengah, di atas, di
bawah, pinggir kiri, pinggir kanan, atau sebelah barat daya, tapi coba temukan.
Hanya keberuntungan yang
dapat mempertemukan kita
dengannya.
Kira-kira seperti itulah gambarannya, sebuah
kesempatan kerja yang ada, tetapi tidak ada. Sang Sarjana yang begitu
bersemangat berangkat pagi-pagi ke sebuah tempat yang katanya sedang membuka
lowongan pekerjaan, harus menelan ludah ketika ditunggu berminggu-minggu
ternyata tidak ada panggilan. Dia berdiri lemah di depan cermin, O ternyata dia
kurang tinggi, gendut, sederhana dan tidak menarik. Wajar jika dia ditolak
mentah-mentah.
Sebenarnya siapa yang salah, Si Sarjana yang pendek,
gendut, jelek dan tidak menarik, atau mereka yang membuka lowongan kerja
‘oplosan’? Tidak ada yang tahu, yang jelas kesempatan kerja mulai terkikis oleh
persyaratan administrasi yang tidak penting.
Coba perhatikan requirements
setiap lowongan pekerjaan, tinggi badan minimal 155 cm/160 cm/165/170 cm dan
seterusnya, berat badan sekian, rapi, berpenampilan menarik, dan bla, bla, bla.
Itu membuat kesempatan kerja semakin sempit untuk sebagian orang saja. Lalu mau
kerja di mana orang-orang pendek? Tidak pantaskah mereka bekerja di tempat yang
‘sempurna’ itu? Dunia kerja yang semakin aneh, tidak lagi mengedepankan potensi
dan kinerja, tetapi lebih menfokuskan pada kondisi fisik.
Ngawur, apa ada nasabah berlarian ke sebuah bank
karena di sana teller-nya
tinggi dan secantik model internasional? Lucu, kenapa tidak sekalian satpamnya
juga harus bertinggi badan minimal 175 cm, tubuh rispak, berpenampilan menarik,
berkemeja warna cerah, dan memiliki potongan rambut ala Christian Ronaldo.
Itu dia masalahnya, tidak semua orang memiliki
kesempatan untuk menunjukkan kemampuannya, potensinya, apalagi kinerjanya.
Kesempatan itu tersekap begitu saja oleh persyaratan-persyaratan konyol yang
mengherankan. Dan sepertinya persyaratan untuk menjadi sarjana juga harus
mengikuti, agar tidak ada lagi sarjana yang menjadi pengangguran, agar titel
sarjana tidak ‘difitnah’ lagi, agar sarjana tidak pernah lagi memberi kesan
ambigu bagi para pemimpi yang ulung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar