Rabu, 18 Mei 2016

[OPINI]


Problem Sarjana : Kesempatan Kerja yang Melebur
Bersama Jarum dalam Tumpukan Jerami

Sarjana, merupakan salah satu status manusia yang bersifat ambigu. Bagaimana tidak, ketika dahulu berusia tujuh belas tahun, sebagian besar orang sangat tergiur untuk cepat-cepat menjadi sarjana. Setelah lulus Sekolah Menengah Atas (SMA), mereka dengan bangga memasuki sebuah Universitas, atau Sekolah Tinggi, atau pun Institut, berusaha mati-matian kuliah dengan rajin, selalu mengerjakan tugas tepat waktu, juga belajar keras saat ujian. Itu semua dilakukan agar cepat lulus, mengejar target agar dalam waktu dekat dapat menyandang gelar sarjana. Dinamika mahasiswa, bahkan rela menelan kalimat-kalimat pedas bapak dan ibu dosen pembimbing yang dengan polos mencoret lembar demi lembar skripsinya, demi mendobrak pembatas terakhir menuju tahta sarjana.
Dan akhirnya wisuda. Semua bersorai, yey aku sudah sarjana! Semua berlomba memamerkan potret dirinya mengenakan toga, kostum yang begitu melegenda sepanjang masa. Semua rela merogoh gocek lebih dari kebutuhan biasanya, demi untuk merayakan hari besar, hari wisuda, menyambut sebuah status baru dalam fase hidupnya, Sarjana. Senyum merekah di setiap sudut, tak jarang juga tawa melerai udara. Hari yang sangat bersahabat.
Tapi hari-hari berikutnya, Sang Sarjana mulai hambar. Tidak ada lagi aktifitas kuliah seperti biasa, juga penjelasan dosen yang membosankan. Tanpa sadar, dia merindukannya. Hari demi hari, Sang Sarjana mulai keluar rumah dan tersenyum tanpa suara kepada para tetangga yang bertanya, kerja di mana? Hal itu di luar dugaannya, bahwa ternyata gelar sarjana telah memikulkannya beban berat, sebuah tekanan keras karena dia tidak kunjung mendapatkan pekerjaan.
Dia perlahan mulai menyesal, menyalahkan diri telah menjadi sarjana. Tunggu, jangan salahkan sarjana. Sarjana memang pantas diperjuangkan dan diraih. Ia adalah mimpi besar, ia patut dibanggakan. Tapi lihat apa yang dihadapi sarjana yang agung, kesempatan kerja yang menyusut. Mencarinya hanya akan menegaskan kekonyolan, seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami. Coba tebak, berapa persen kesempatan yang ada, kecil. Karena meskipun ada yang mengatakan kalau jarum itu berada di tengah, di atas, di bawah, pinggir kiri, pinggir kanan, atau sebelah barat daya, tapi coba temukan. Hanya keberuntungan yang dapat mempertemukan kita dengannya.
Kira-kira seperti itulah gambarannya, sebuah kesempatan kerja yang ada, tetapi tidak ada. Sang Sarjana yang begitu bersemangat berangkat pagi-pagi ke sebuah tempat yang katanya sedang membuka lowongan pekerjaan, harus menelan ludah ketika ditunggu berminggu-minggu ternyata tidak ada panggilan. Dia berdiri lemah di depan cermin, O ternyata dia kurang tinggi, gendut, sederhana dan tidak menarik. Wajar jika dia ditolak mentah-mentah.
Sebenarnya siapa yang salah, Si Sarjana yang pendek, gendut, jelek dan tidak menarik, atau mereka yang membuka lowongan kerja ‘oplosan’? Tidak ada yang tahu, yang jelas kesempatan kerja mulai terkikis oleh persyaratan administrasi yang tidak penting.
Coba perhatikan requirements setiap lowongan pekerjaan, tinggi badan minimal 155 cm/160 cm/165/170 cm dan seterusnya, berat badan sekian, rapi, berpenampilan menarik, dan bla, bla, bla. Itu membuat kesempatan kerja semakin sempit untuk sebagian orang saja. Lalu mau kerja di mana orang-orang pendek? Tidak pantaskah mereka bekerja di tempat yang ‘sempurna’ itu? Dunia kerja yang semakin aneh, tidak lagi mengedepankan potensi dan kinerja, tetapi lebih menfokuskan pada kondisi fisik.
Ngawur, apa ada nasabah berlarian ke sebuah bank karena di sana teller-nya tinggi dan secantik model internasional? Lucu, kenapa tidak sekalian satpamnya juga harus bertinggi badan minimal 175 cm, tubuh rispak, berpenampilan menarik, berkemeja warna cerah, dan memiliki potongan rambut ala Christian Ronaldo.
Itu dia masalahnya, tidak semua orang memiliki kesempatan untuk menunjukkan kemampuannya, potensinya, apalagi kinerjanya. Kesempatan itu tersekap begitu saja oleh persyaratan-persyaratan konyol yang mengherankan. Dan sepertinya persyaratan untuk menjadi sarjana juga harus mengikuti, agar tidak ada lagi sarjana yang menjadi pengangguran, agar titel sarjana tidak ‘difitnah’ lagi, agar sarjana tidak pernah lagi memberi kesan ambigu bagi para pemimpi yang ulung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar