Rabu, 18 Mei 2016

[OPINI]


Problem Sarjana : Kesempatan Kerja yang Melebur
Bersama Jarum dalam Tumpukan Jerami

Sarjana, merupakan salah satu status manusia yang bersifat ambigu. Bagaimana tidak, ketika dahulu berusia tujuh belas tahun, sebagian besar orang sangat tergiur untuk cepat-cepat menjadi sarjana. Setelah lulus Sekolah Menengah Atas (SMA), mereka dengan bangga memasuki sebuah Universitas, atau Sekolah Tinggi, atau pun Institut, berusaha mati-matian kuliah dengan rajin, selalu mengerjakan tugas tepat waktu, juga belajar keras saat ujian. Itu semua dilakukan agar cepat lulus, mengejar target agar dalam waktu dekat dapat menyandang gelar sarjana. Dinamika mahasiswa, bahkan rela menelan kalimat-kalimat pedas bapak dan ibu dosen pembimbing yang dengan polos mencoret lembar demi lembar skripsinya, demi mendobrak pembatas terakhir menuju tahta sarjana.
Dan akhirnya wisuda. Semua bersorai, yey aku sudah sarjana! Semua berlomba memamerkan potret dirinya mengenakan toga, kostum yang begitu melegenda sepanjang masa. Semua rela merogoh gocek lebih dari kebutuhan biasanya, demi untuk merayakan hari besar, hari wisuda, menyambut sebuah status baru dalam fase hidupnya, Sarjana. Senyum merekah di setiap sudut, tak jarang juga tawa melerai udara. Hari yang sangat bersahabat.
Tapi hari-hari berikutnya, Sang Sarjana mulai hambar. Tidak ada lagi aktifitas kuliah seperti biasa, juga penjelasan dosen yang membosankan. Tanpa sadar, dia merindukannya. Hari demi hari, Sang Sarjana mulai keluar rumah dan tersenyum tanpa suara kepada para tetangga yang bertanya, kerja di mana? Hal itu di luar dugaannya, bahwa ternyata gelar sarjana telah memikulkannya beban berat, sebuah tekanan keras karena dia tidak kunjung mendapatkan pekerjaan.
Dia perlahan mulai menyesal, menyalahkan diri telah menjadi sarjana. Tunggu, jangan salahkan sarjana. Sarjana memang pantas diperjuangkan dan diraih. Ia adalah mimpi besar, ia patut dibanggakan. Tapi lihat apa yang dihadapi sarjana yang agung, kesempatan kerja yang menyusut. Mencarinya hanya akan menegaskan kekonyolan, seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami. Coba tebak, berapa persen kesempatan yang ada, kecil. Karena meskipun ada yang mengatakan kalau jarum itu berada di tengah, di atas, di bawah, pinggir kiri, pinggir kanan, atau sebelah barat daya, tapi coba temukan. Hanya keberuntungan yang dapat mempertemukan kita dengannya.
Kira-kira seperti itulah gambarannya, sebuah kesempatan kerja yang ada, tetapi tidak ada. Sang Sarjana yang begitu bersemangat berangkat pagi-pagi ke sebuah tempat yang katanya sedang membuka lowongan pekerjaan, harus menelan ludah ketika ditunggu berminggu-minggu ternyata tidak ada panggilan. Dia berdiri lemah di depan cermin, O ternyata dia kurang tinggi, gendut, sederhana dan tidak menarik. Wajar jika dia ditolak mentah-mentah.
Sebenarnya siapa yang salah, Si Sarjana yang pendek, gendut, jelek dan tidak menarik, atau mereka yang membuka lowongan kerja ‘oplosan’? Tidak ada yang tahu, yang jelas kesempatan kerja mulai terkikis oleh persyaratan administrasi yang tidak penting.
Coba perhatikan requirements setiap lowongan pekerjaan, tinggi badan minimal 155 cm/160 cm/165/170 cm dan seterusnya, berat badan sekian, rapi, berpenampilan menarik, dan bla, bla, bla. Itu membuat kesempatan kerja semakin sempit untuk sebagian orang saja. Lalu mau kerja di mana orang-orang pendek? Tidak pantaskah mereka bekerja di tempat yang ‘sempurna’ itu? Dunia kerja yang semakin aneh, tidak lagi mengedepankan potensi dan kinerja, tetapi lebih menfokuskan pada kondisi fisik.
Ngawur, apa ada nasabah berlarian ke sebuah bank karena di sana teller-nya tinggi dan secantik model internasional? Lucu, kenapa tidak sekalian satpamnya juga harus bertinggi badan minimal 175 cm, tubuh rispak, berpenampilan menarik, berkemeja warna cerah, dan memiliki potongan rambut ala Christian Ronaldo.
Itu dia masalahnya, tidak semua orang memiliki kesempatan untuk menunjukkan kemampuannya, potensinya, apalagi kinerjanya. Kesempatan itu tersekap begitu saja oleh persyaratan-persyaratan konyol yang mengherankan. Dan sepertinya persyaratan untuk menjadi sarjana juga harus mengikuti, agar tidak ada lagi sarjana yang menjadi pengangguran, agar titel sarjana tidak ‘difitnah’ lagi, agar sarjana tidak pernah lagi memberi kesan ambigu bagi para pemimpi yang ulung.

[CERPEN] - DIRIJEN GRUP MUSIK


Semua temanku bertanya-tanya, apa saja yang telah aku lakukan selama di universitas? Ku katakan belajar, mereka tidak puas. Mereka malah mencibirku.
“Kau jauh-jauh ke kota, kuliah di universitas terkenal se-provinsi, yang kau lakukan hanya belajar? Jika yang kau lakukan hanya belajar, mengapa kau tak diam saja di kampung ini. Setangkai buah padi akan mengajarkanmu.” Ujar salah seorang dari mereka.
“Aku fikir, dengan gayamu itu, kau sudah melakukan banyak hal untuk perubahan.” Sambung yang lainnya.
“Heh, apa kau yakin telah belajar selama bertahun-tahun kau di sana? Lalu mengapa bukan kau yang dipanggil sebagai lulusan terbaik saat wisuda?” Kata yang lain tak kalah menyakitkannya.
“Dasar melempem!” Umpat yang satu lagi.
Aku menelan ludah mendengarkan kata-kata mereka. Ini bukan pertama kalinya aku dicerca. Dan Si Kuyuk itu, apa? Dia berbicara tentang perubahan? Memangnya dia faham arti perubahan? Inginku tinju mereka satu per satu, tetapi kepalan tangan ini rasanya kecil sekali untuk ukuran muka tebal mereka.
Dan Si Botak, dia mengumpatku. Baiklah, aku tahu dia memiliki badan kekar, otot besar serta tulang yang keras. Aku juga tahu dia memalak orang di jalanan setiap hari. Si Jangkung, seolah dia sudah berhasil saja dengan pertaniannya. Sekarang, dia bahkan menyebut-nyebut filosofi ilmu padi. Lalu Si Bulat, aku tidak menyangka dia masih menyombongkan predikat siswa terbaiknya ketika sekolah dasar dulu.
“Ku rasa kalian semua sangat cerdas, tetapi sayang tidak berfikiran cerdas.” Ungkapku membela diri.
“Maksudmu?” Tanya Si Bulat.
“Kalian orang cerdas. Mengeluarkan kalimat-kalimat luar biasa dengan gagah. Tetapi kalian telah memotong kalimatku, Tetua!” Jawabku menghentakkan kata terakhir di depan wajah mereka.
“Kau katakan saja yang kau maksud, jangan bertele-tele!” Bentak Si Jangkung.
“Sejujurnya, aku adalah dirijen grup musik.” Jawabku mantap.
Semua mulut ternganga. Mereka pasti telah terkesima, fikirku sambil tersenyum menang.
“Ha-Ha-Hahahahaha, apa kau mau aku percaya begitu saja? Dengan kulit hitammu ini, kau menjadi dirijen grup musik? Jangan bercanda!” Timpal Si Kuyuk sambil terbahak-bahak.
“Baru saja aku katakan kau cerdas, dan sekarang kau berlagak bodoh lagi?” Sergapku,
“Dirijen grup musik itu tidak butuh kulit putih, tetapi butuh keterampilan dan pengetahuan, bodoh!” Sambungku.
Kemudian aku berbual tentang banyaknya pertunjukan yang telah aku hadiri. Ku katakan kepada mereka bahwa aku adalah salah satu dirijen yang paling banyak dicari. Audisi-audisi bukanlah levelku, justru akulah yang mengaudisi manajemen-manajemen yang menawariku bergabung. Pertunjukan-pertunjukan besar di ibu kota, luar kota bahkan luar negeri menjadi langganan undanganku. Kemeriahan tepuk tangan membanjiri pertunjukan yang aku pimpin, buket-buket bunga bergeletakan untukku, serta gemerlap cahaya potret menangkap wajahku. Tak terhitung banyak penghargaan yang aku miliki. Bahkan undangan pertunjukan di kota tempatku belajar banyak yang aku tolak.
Mereka mendengarku tanpa berkedip dan bernafas. Menatap takjub ke arah mulutku yang bercerita. Aku tergelitik geli dalam hati, menyaksikan wajah-wajah yang tadinya sangat buas, kini tampak jinak hanya dengan bualan konyol yang aku karang.
“Heh Kuyuk, apakah sekarang, menurutmu aku sudah melakukan perubahan?” Tanyaku bangga. Si Kuyuk tersentak dan salah tingkah. Dia hanya bisa mengangguk kalah.
Kami semua terdiam sejenak. Mungkin mereka sedang mencari-cari alasan untuk memojokkanku kembali. Tetapi aku tidak gusar lagi. Aku siap melayangkan sandiwara-sandiwara kata untuk menghantam mereka.
Dirijen grup musik? Ini baru permulaan. Terkadang, aku juga merasa bingung terhadap diriku sendiri. Mengapa aku begitu pandai berbicara palsu? Dirijen grup musik itu, aku baru saja memikirkannya, namun entah mengapa aku sangat lancar mengungkapkannya. Padahal aku hanya melihatnya di film-film, bahkan menurutku itu pekerjaan yang membosankan. Melotot memperhatikan kertas musik sembari tangan bergerak mengikuti alur nada. Lalu dengan konyolnya, pemain musik di depan mengikutinya. Hei, bukankah mereka telah latihan sebelumnya? Tetapi mereka berlaku seolah dirijen itulah rajanya. Namun memang begitulah selayaknya, dirijen itu juga penting untuk kesempurnaan pertunjukan, meskipun hanya sebagai formalitas belaka.
Bukankah dalam kehidupan ini formalitas telah merajalela juga? Maka tidak ada salahnya jika beribu-ribu dirijen berdiri di atas panggung megah.
Dan lucunya lagi, teman-temanku ini, mereka terdiam lama sekali. Aku ingin tertawa melihat mereka. Sesulit itukah mencari lawan atas tipuanku? Mereka justru terbengong bodoh meratapi diri.
“Heh, bisakah lain kali kau ajak kami untuk bergabung? Kami juga ingin naik pesawat!” Seru si angkuh Kuyuk. Apa? Aku tidak percaya ini. Mengapa mereka yang justru terjebak dalam perangkap?
“Aku tidak mau. Tangan kasarmu tidak pantas untuk menyentuh kertas musik yang indah.” Kataku melanjutkan sandiwara.
“Sombong sekali kau, seperti tangan kau lembut saja.” Katanya membela diri.
“Lalu bagaimana denganku? Aku pasti cocok kan?” Tanya Si Botak.
“Tidak. Wajahmu terlalu sangar untuk pertunjukan musik.” Jawabku.
“Heh?? Apa kau fikir kau itu tampan?! Berani sekali kau!!” Serunya padaku dengan wajah kesal.
Aku tersenyum jahil mengejeknya.
“Aku saja kalau begitu. Aku lebih baik dari mereka.” Kata Si Bulat mengacungkan diri.
Aku memelototinya, memperhatikan segenap tubuhnya dari atas hingga ke bawah.
“Kau tidak akan dapat menjangkau kertas musik.” Jawabku santai.
Dia pun menghujatku dengan kepalan tinjunya, merasa kesal.
Si Jangkung perlahan-lahan bergeser ke sampingku. Dia menyikut bahuku, sorot matanya memintaku untuk mempertimbangkannya.
“Bagaimana?” Tanyanya berlagak seperti artis gadungan.
“Kau tidak akan bisa.” Jawabku.
“Aku akan belajar.” Katanya mantap.
“Hah? Hahahahahahaha.” Tawaku terpingkal-pingkal.
Semua bingung melihatku.
“Mengapa kau tak belajar saja pada ribuan tangkai padimu di sawah.” Jelasku.
Mereka tertegun mendengar perkataanku.

ϙϙϙϙϙ

[CERPEN] - DEAR LUNA


Luna apa kabar? Lama tidak berjumpa, apakah kau masih cantik seperti dulu? Aku harap kau mengatakan Ya.
Luna, aku rindu sepasang gigi kelincimu, juga senyum manismu yang bersinar seperti bulan sabit. Dan keseharianmu yang cerah seperti langit di pagi hari.
Luna, aku ingin bertanya, apakah kau naik bus setiap kali pergi ke sekolah? Apakah polusi-polusi kota tidak merusak kulit mulusmu?
Aku ingin bercerita kepadamu bahwa di sini, aku ke sekolah dengan berjalan kaki setiap hari. Dalam jarak yang panjang, aku dan teman-teman berlari dan bergembira ria, karenanya aku tidak merasa lelah sedikitpun.
Luna, apakah di sana kau memiliki banyak teman? Apakah para tetanggamu di kota tidak menutup pintu mereka rapat-rapat?
Di sini, aku dan teman-temanku bercengkerama riang di halaman rumah, sambil menunggu ranumnya buah mangga yang sebentar lagi akan dipanen.
Luna, adakah pohon mangga di depan rumahmu? Berapa luas halaman rumahmu? Tapi sepertinya kau hanya panen uang dari gedung menjulang yang menutupi tubuhmu dengan bayangan megahnya.
Kehidupan kami di sini masih sederhana. Apa kamu ingat, ketika dahulu kita memakan sepotong ubi kayu bakar berdua? Kamu selalu ingin memakan bagian tengahnya, dan menyisakan untukku ujung ubi yang keras. Jika ingat ketika itu, aku sangat ingin mengutukmu menjadi ubi agar aku bisa memakanmu sehingga aku tidak lagi merasa lapar.
Luna, apakah sekarang ada ubi kayu yang kau tanam di bawah tembok sejuk rumahmu? Ah, mungkin tidak ada. Kau pasti tidak makan ubi lagi, ya kan? Karena kulkasmu di dapur sudah terisi penuh oleh beriris-iris keju. Kau pasti melahap keju itu dengan nikmat. Keju yang diracik oleh tangan-tangan terampil pekerja ibu kota. Mereka bekerja di bawah langit-langit gedung dan terbungkus udara yang sejuk.
Terik di sini semakin mengaum. Matahari mencakar setiap sudut desa. Meski begitu, bibi-bibi kita tetap tersenyum saat bergulat dengan ulat-ulat dan belalang di ladang.
Luna, aku ingin kita mendiskusikan sesuatu. Tentang awan yang berarak tidak pernah meminta bayaran seperti calo-calo nakal di pelabuhan. Dia memandang kasihan ke arah Pak Tua yang terseok-seok menaiki kaki bukit. Sementara nun jauh di sana, Pak Tua yang lain sedang tertidur pulas di atas tumpukan rupiah yang menggunung. Arakan awan berlari mengejar Pak Tua, bukan untuk berharap diberi segumpal daging seperti kucing yang kelaparan, tetapi untuk menelusup ke ruang kepala Pak Tua, meski beberapa detik saja.
Pak Tua yang jangkung setinggi tiga tumpuk lebih kurcaci. Tulang selangkanya terlihat jelas menyokong leher panjang yang menyangga kepalanya. Uban-uban berserakan menggusur rambut hitamnya. Aku bertanya-tanya, apakah Pak Tua belum makan siang? Perutnya begitu tipis. Kulitnya tampak dekil oleh tanah. Tunggu, apakah tak ada sisa logam hanya untuk membeli sepasang sandal murah? Sungguh kasihan kaki telanjangnya yang berjalan menapaki setapak penuh ranting semak yang berguguran.
Kamu tahu Luna? Arakan awan itu masih setia menemaninya. Lebih setia daripada hati wakil rakyat yang tengah beristirahat di persimpangan. Tidakkah mereka ingin menemani Pak Tua berjalan-jalan santai di pelataran bukit? Ah, lupakan. Mereka pasti tengah asik berpetualang di Eropa.
Luna, hal lain yang ingin aku bicarakan.
Sebentar lagi, Pak Tua akan panen kopi. Anak gadisnya menunggu untuk diajak ke pasar berbelanja. Dia ingin membeli baju baru harga tiga puluh ribu, serta kerudung berbakal murahan yang sedang tren di desa.
Sementara teman-temanmu di sana memiliki bertumpuk-tumpuk gaun sutra yang disimpan rapi di dalam lemari kaca. Bermeter-meter panjang laci, tersimpan berpuluh-puluh gram emas murni 24 karat milik istri pejabat.
Luna, Pak Tua terlihat kelelahan mendongak biji kopi yang sudah memerah. Senyum merekah hinggap di bibirnya, membiaskan rasa syukur dari hatinya. Bintang-gemintang gaib meneropongnya, memerintahkan kepada angin untuk menghiburnya. Tak lama kemudian, Pak Tua berbalik dan menyeret langkahnya menuju gubuk reot di pojok ladang. Dia terduduk letih menyapu sekitar dengan pandangannya. Pohon-pohon kopi yang kurus berdiri tegak. Mereka telah menua seperti dirinya.
Pandangannya tidak berkedip menapaki kenangan masa silam. Ibunya yang bungkuk berwasiat bahwa  sepetak tanah ini untuknya. Sementara wanita tua yang lain, lebih gemar menyaksikan anak-anaknya berseteru memperebutkan sebidang tanah sempit di ujung kampung. Pak Tua tersenyum masam seraya merogoh kantong celananya, tiga biji kopi berhasil dia keluarkan. Dia mengamatinya penuh harapan.
Luna aku ingin kau tahu, anak gadis Pak Tua menangis dan mengurung diri di kamar. Dia gagal memiliki baju baru. Hasil panen kopi hanya mampu menjamah harga beras dan sedikit lauk-pauk. Tidakkah udara membisikkan kepada saudagar-saudagar sangar itu? Tentang perjuangan Pak Tua mendorong gerobak kayu yang berat, menuruni bukit penuh batu dan semak tajam, kadang kala ikut tergelincir jatuh terdorong angin. Tapi Pak Tua yang perkasa, bangkit kembali, meski dengan susah payah, dia akhirnya bisa berdiri tegak. Dengan begitu, mereka dapat mempertimbangkan segelintir uang logam tambahan untuk menyokong mimpi anak gadis Pak Tua.
Luna, kemarin aku pergi ke warung untuk menukar beberapa buah pepaya dengan satu kilo gram beras. Di sana aku melihat kopi-kopi instan bergelantungan. Saat ku tanya harganya, langsung ku ingat tentang tumpukan baju baru di toko murah di perempatan pasar. Dengan harga ini, bukankah Pak Tua bisa membelikan berlusin-lusin baju baru untuk si gadis? Atau bahkan mampu memberikan sepasang baju baru untuk warga sekampung.
Aku tahu Luna, sebiji kopi dari ladang Pak Tua butuh biaya banyak untuk mengantarkannya ke pabrik. Tapi tidakkah kau miris melihat harga untuk segerobak penuh biji kopi Pak Tua hanya cukup untuk sangu beberapa bulan saja. Lalu untuk sisa bulan sebelum panen, Pak Tua hendak makan apa?
Coba kau fikir Luna, mereka di sana kebingungan hendak membeli apa, tetapi Pak Tua di sini bingung hendak membeli dengan apa.
Suatu hari yang sangat melelahkan, Pak Tua merutuki diri, mengapa ia tak jadi presiden saja?
Tapi Luna, aku kembali berfikir. Apa yang diharapkan Pak Tua dari seorang presiden? Apakah singgasana megah yang terduduk kokok di istana negara? Atau iring-iringan besar para jenderal? Ataukah sapaan hormat para kaki tangan yang hobi menjilat? Ku rasa bukan.
Pak Tua pasti mengincar kebebasan. Kebebasan untuk melukis sketsa perubahan. Baginya yang bijaksana, dia tidak hendak meratakan bukit, justru akan menanam barisan beribu pohon cemara di pinggiran. Sehingga monyet pun akan merasa nyaman berkejar-kejaran di kaki bukit.
Luna, aku lelah bercerita tentang biji kopi dan mimpi Pak Tua. Aku akan menceritakan kepadamu segulung rindu yang tersimpan di bawah tikar.
Rindu itu milik Pak Tua yang dia pendam bertahun-tahun lamanya. Untuk istrinya yang terakhir kali dia temui di terminal bus, menjelang terik beberapa tahun silam.
Sangat tergambar jelas, raut wajah kesedihan melepas kepergiannya menuju pelabuhan. Istrinya berdadah sembari berusaha menyatukan puing-puing hati yang pilu. Kepergian Pak Tua menyiratkan bergaris-garis kekhawatiran. Istrinya tidak ingin membiarkan dia pergi, tetapi apa daya, kemiskinan telah terkapar lama di kehidupan mereka.
Kala itu, anak gadis Pak Tua masih di dalam kandungan. Otot-otot tubuh Pak Tua masih kokoh. Pak Tua pergi mengadu nasib ke negeri seberang sebagai buruh sawit.
Bulan-bulan pertama sangat menyenangkan. Istrinya tak pernah kurang satu apa pun karena Pak Tua selalu mengirim jatah gajian. Istrinya hidup mewah berkat kucuran keringatnya. Dia berlangganan hutang di setiap pedagang pakaian keliling. Kiriman uang dari Pak Tua dengan setia menyokongnya. Anak perempuan menjadi manja. Dibelikannya gadis kecilnya alat-alat riasan yang bagus dan mahal. Rumah sempit mereka penuh dengan barang-barang mewah. Sang istri terluntang-lantung belanja sana-sini tanpa menyisakan tabungan. Bahkan warga kampung memujanya orang kaya baru, membuatnya begitu bangga akan dirinya.
Tapi Luna, bulan-bulan terakhir menjelang masa akhir kontraknya, Pak Tua beserta kiriman uangnya menghilang. Istrinya menjadi resah dan gusar mengingat tidak ada lagi uang yang tertidur di bawah kasur. Para pedagang keliling bergantian menagih hutangnya, dan tidak jarang mereka pulang dengan makian menyelimuti mulut mereka di perjalanan. Gadis kecilnya merengek minta belanja. Tapi apa hendak dikata, bahkan untuk makan nasi saja si ibu tak punya apa-apa.
Luna, aku ingin memberitahumu, inilah yang fatal dari kebiasaan boros itu. Istri Pak Tua berjalan siang dan malam meninggalkan gadis kecilnya menangis seorang diri di dalam rumah yang terkunci. Berjengkal-jengkal lintasannya, para petani selalu berteriak ramai mengumumkan ketimun mereka tiba-tiba menghilang. Para petani pun berkumpul di rumah pak RT, berbincang untuk mencari tahu siapa pencuri itu.
Mereka menerka-nerka, apakah ada kancil kelaparan yang turun dari hutan? Lalu semua petani bersiap-siap untuk berburu kancil. Mereka membawa bambu runcing, kayu, arit, pisau, juga panah. Mereka beramai-ramai menuju ladang, menyusun strategi dan membentuk kelompok untuk mengintai pergerakan si kancil di setiap bidang ladang ketimun. Rasa amarah menyuar keluar seperti embukan lava panas gunung merapi. Kancil kurang ajar! Umpat seseorang.
Tak lama kemudian terdengar teriakan di ujung utara. Tepatnya di sebuah ladang yang terletak di tanjakan terjal bukit. Serentak seluruh petani berlarian ke sana.
“Kancilnya tertangkap! Kancilnya tertangkap!” Seru mereka.
Setelah tiba di sana, satu per satu orang tertegun dengan mulut menganga, melihat seorang wanita tergelepar di depan mereka, tertusuk anak panah.
“Ini dia ibu kancil!” Ujar seseorang yang memanah kepada semua yang datang. Sementara orang yang dipanah itu tak sadarkan diri.
Sejak saat itu Luna, gadis kecil Pak Tua tak pernah lagi melihat ibunya, dan tak kunjung juga melihat ayahnya. Dia hidup mengandalkan belas kasihan para tetangga. Hingga suatu hari di usianya yang ke lima belas, Pak Tua datang mengetuk pintu rumah.
Gadis yang beranjak remaja itu berdiri tegap menatap wajah cekung Pak Tua yang berdiri di depan pintu. Kerutan bersusun-susun di dahinya, dia bertanya-tanya dalam hati, siapakah gerangan laki-laki tua yang di depannya ini? Pak Tua pun demikian, dia menatap gadis itu penuh tanya.
Luna, aku ingin protes sedikit saja. Tidakkah dia ingat bahwa itu nyawa yang dia tinggalkan dalam kandungan? Dia celingak-celinguk tanpa rasa berdosa, mencari seseorang di balik pintu. Kemudian seorang tetangga datang.
“Ahai!! Lihatlah siapa yang datang?!” Seru tetangga itu.
“Apakah bapak ini saudara Bibi yang datang dari kota?” Tanya sang gadis dengan polosnya.
Tetangga itu terdiam, memandang bergantian antara Pak Tua dan anaknya.
“Nak, ucapkan selamat datang kepada Ayahmu.” Ujar sang tetangga begitu lancarnya sampai tak membiarkan kedua orang itu mencerna kalimatnya. Dia tidak menyadari keterkejutan mereka.
Pak Tua mendekat dengan mata berkaca-kaca. Wajahnya tampak tertekan. Dari sorot matanya jelas terlihat perasaan bersalah yang berlipat-lipat kepada gadis yang bengong memandangnya. Kedua tangannya menggapai pipi gadis itu, merasakan betapa keringnya pipi itu. Buliran air mata berjatuhan membasahinya. Pak Tua mengusapnya sambil menangis tersedu-sedu. Tetangga itu pun ikut terharu menyaksikan anak dan bapak itu berpelukan.
Sejak saat itu, Pak Tua hidup nyaman dengan putrinya, menjadi petani kopi yang hidup sederhana. Dan gadis remaja itu tumbuh menjadi gadis cantik yang sesungguhnya. Pak Tua selalu berlinang air mata setiap kali menatap wajah anak gadisnya. Wajah itu mengingatkan dia akan istrinya yang tak sempat ia jumpai sepulang dari perantauan.
Dulu, Pak Tua berkeliling kampung menanyakan di mana istrinya berada. Namun semua warga menjawab “Tidak tahu”. Dan ketika dia bertanya kepada putrinya, gadis itu hanya menjawab singkat,
“Ibu menghilang begitu saja.”
Pak Tua pun akhirnya merelakan kepergian istrinya yang misterius. Dia melanjutkan hidup berbekal kenangan manis yang tersisa. Memang tidak dapat dipungkiri, Pak Tua dan istrinya masih pengantin baru ketika dia pergi dahulu. Dan bertahun-tahun dia terdampar di negeri orang oleh karena fitnah seorang yang bermulut besar. Dan ketika dia tiba di kampung halaman, tidak ada lagi istrinya.
Luna, kau mungkin lelah mendengarku, sekarang aku akan mengakhiri ceritaku.
Suatu sore ketika Pak Tua merenungi kepedihannya melihat anak gadis yang berdiam diri  seharian di kamar, seoarang dari kampung sebelah datang menemuinya. Orang itu bercerita,
“Pak, rumahku berada di ujung utara kampung ini, atau tepatnya di perbatasan antara kampung ini dan kampung kami. Di dekat rumahku ada sebuah gubuk, setiap malam selalu terdengar tangis wanita tua dari sana. Wanita itu juga berteriak-teriak di sela isaknya. Beberapa malam pertama, ku fikir itu hantu. Tetapi karena rasa penasaran yang semakin menjadi-jadi, aku memberanikan diri mendekati sumber suara. Akhirnya jelas ku dengar, bahwa suara itu berteriak memanggil namamu. Namun aku tak bisa melihat siapa yang sebenarnya berteriak. Ketika aku mengintip ke dalam, aku tak pernah bisa melihat siapa-siapa. Belakangan aku bertanya kepada beberapa warga kampung. Mereka mengatakan, memang ada seorang wanita yang dipasung di gubuk itu bertahun-tahun lamanya. Mungkin itulah kenapa, setiap aku melintas pagi dan sore, selalu ada warga yang keluar gubuk sambil membawa piring yang berisi sisa nasi.”
Pak Tua membeku mencerna cerita itu.
ϙϙϙϙϙ